Rabu 11 Mar 2020 01:14 WIB

Korban Aksi Reformasi Dikorupsi Pertimbangkan Proses Hukum

Peserta aksi #reformasidikorupsi yang alami kekerasan mengadu ke Komnas HAM.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Kondisi kantor Polisi Subsektor Palmerah yang hangus terbakar pasca aksi 24 September 2019 di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).(Thoudy Badai)
Foto: Thoudy Badai
Kondisi kantor Polisi Subsektor Palmerah yang hangus terbakar pasca aksi 24 September 2019 di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).(Thoudy Badai)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi untuk Demokrasi akan membawa dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atau tindak pidana yang dialami peserta aksi reformasi dikorupsi pada September 2019 lalu ke ranah hukum. Para peserta aksi yang menjadi korban kekerasan meminta negara memfasilitasi pemulihan serta visum et repertum dan visum et repertum psikiatrikum sebagai bukti.

"Yang mana nanti itu bisa menjadi bahan kami juga untuk maju ke laporan pidana," ujar Perwakilan Tim Advokasi dari LBH Jakarta, Sustira Dirga di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (10/3).

Sebelum melaporkan dugaan pelanggaran ke aparat penegak hukum, Tim Advokasi terlebih dahulu mengadu ke Komisi Nasional (Komnas) HAM dan beraudiensi pada Selasa. Tim telah membawa bukti dugaan pelanggaran diantaranya beberapa surat dari rumah sakit, foto, dan cerita kronologi dari masing-masing korban.

Aduan ke Komnas HAM ini turut serta dua peserta aksi yang mengaku mengalami kekerasan. Dua orang ini bercerita sempat ditangkap pihak kepolisian secara sewenang-wenang dan mengalami kekerasan.

"Jarinya patah dan bocor kepalanya sekitar ada 7 jahitan. Yang satu lagi juga sama kepalanya bocor juga padahal yang satu lagi bergerak sebagai tim medis," kata Sustira.

Keduanya masing-masing ditangkap di Lapangan Hockey samping JCC dan Plaza Semanggi, Jakarta. Bahkan, lanjut Sustira, Tim Advokasi menerima sekitar 390 aduan dari peserta aksi yang menerima kekerasan dari oknum aparat penegak hukum.

Namun, hampir enam bulan berlalu sejak peristiwa demonstrasi reformasi dikorupsi yang menolak Revisi Undang-Undang KPK dan Rancangan Undang-Undang KUHP, hanya 10-15 orang yang baru bersedia dimintai keterangan oleh tim advokasi. Menurut dia, mereka masih dalam proses pemulihan baik fisik maupun psikis.

"Baik itu korban langsung ataupun keluarga ataupun kerabat yang melaporkan bahwa ada kerabat dan keluarganya yang apakah dia hilang, apakah dia mengalami penyiksaan, apakah dia ditangkap secara sewenang-wenang atau bahkan ditahan secara sewenang-wenang," jelas Sustira.

Ia menuturkan, setidaknya ada tiga HAM yang dilanggar diantaranya jaminan dan perlindungan hukum/kesamaan dimuka hukum, hak bebas dari penyiksaan tindakan tidak manusiawi/merendahkan martabat, dan hak untuk tidak ditahan ditangkap secara sewenang-wenang.

Perwakilan Tim Advokasi dari Imparsial, Hussein Ahmad menambahkan, aksi mahasiswa itu berlangsung siang hari di sejumlah daerah. Akan tetapi, kata dia, polisi diduga menangkap peserta aksi pada malam hari ketika mereka tengah beristirahat dan berlindung dari gas air mata. Para peserta aksi juga mengaku mendapatkan kekerasan dari aparat penegak hukum.

"Jadi kami juga menyimpulkan, bahwa yang terjadi saat itu bukanlah penangkapan, melainkan perburuan terhadap mahasiswa dan masyarakat yang secara damai melakukan aksi pada tanggal 24-30 September," kata Hussein.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement