REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA — Pemerintah Turki menolak menghentikan arus migran yang berusaha menyeberang ke Yunani. Tindakan tersebut diambil meskipun Ankara memperoleh tekanan dari Uni Eropa untuk menghalau gelombang migran.
“Kami tidak berpikir untuk menutup gerbang ini. Proposal kami ke Yunani adalah membuka gerbang. Orang-orang ini tidak akan tinggal di Yunani. Biarkan mereka menyeberang dari Yunani ke negara-negara Eropa lainnya,” ujar Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Selasa (10/3).
Erdogan mengungkapkan akan mengadakan pertemuan dengan Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan kemungkinan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson di Istanbul pada 17 Maret mendatang. Mereka akan membicarakan krisis pengungsi yang sedang berlangsung di perbatasan Turki-Yunani.
Erdogan mengaku telah menekankan dalam pembicaraan di markas Uni Eropa di Brussel, Belgia, tentang perlunya memperbarui kesepakatan migrasi tahun 2016. “Para pemimpin Uni Eropa menerima bahwa Turki telah memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan perjanjian 18 Maret (2016) dan bahwa Uni Eropa telah bertindak lambat,” ujarnya.
Gelombang migran mulai berusaha memasuki Yunani sejak Turki menyatakan tak akan lagi menahan dan menampung mereka di wilayahnya. Hal itu diutarakan pada 28 Februari lalu.
Keputusan Turki dinilai mengingkari komitmen yang dibuatnya bersama Uni Eropa pada 2016. Dalam kesepakatan tersebut, Turki bersedia menampung pengungsi Suriah yang ingin menyeberang ke Eropa. Sebagai imbalannya, Uni Eropa memberikan dana bantuan 6 miliar euro dan perjalanan bebas visa ke Benua Biru bagi warga Turki.
Namun, Turki menganggap dana bantuan yang diberikan Uni Eropa tidak memadai untuk membiayai kebutuhan pengungsi. Sejauh ini Turki telah menampung 3,6 juta pengungsi Suriah. Jumlah itu diprediksi akan bertambah karena pertempuran di Provinsi Idlib masih berlangsung.