REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menghormati dan akan mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) terkait pembatalan kenaikan iuran peserta yang sudah mulai diberlakukan pada 1 Januari 2020. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan siap mematuhi putusan MA tersebut. Meski, ia mengakui hingga saat ini belum menerima detail amar putusan yang dikeluarkan pada Senin (9/3) itu.
"Kami sangat menghormati dan apa yang menjadi keputusan MA. Kami akan patuhi. Namun, kami belum mendapatkan detail amar putusan tersebut," kata Fachmi di Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (11/3).
Fachmi menjelaskan, dengan belum mendapatkan salinan putusan tersebut, pihaknya belum bisa mengetahui detail teknis terkait putusan itu yang salah satunya mencakup pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Ia tak mengetaui pembatalan itu mulai berlaku sejak kapan.
Selain itu, Fahmi melanjutkan, dengan dibatalkannya kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut, pihaknya dalam waktu dekat akan menghitung dampak keuangan yang timbul dari putusan MA itu.
"Kami belum mendapatkan detail putusan itu, kapan mulai berlaku, apakah berlaku surut, atau sekarang. Kami juga akan hitung dampaknya terhadap pembatalan itu, termasuk implikasi keuangan," katanya.
Fachmi menambahkan, dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan rapat, termasuk berkoordinasi pada tingkat menteri, untuk mengantisipasi segala dampak yang timbul akibat pembatalan kenaikan iuran tersebut.
Rapat yang akan dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dalam waktu dekat ini direncanakan membahas detail putusan MA. Namun, BPJS Kesehatan menjamin operasional pelayanan kesehatan kepada masyarakat akan tetap dilakukan dengan sebaik-baiknya.
"Karena BPJS Kesehatan itu satu dari keseluruhan ekosistem pemerintahan, kita akan segera rapat koordinasi di tingkat menteri untuk mengantisipasi segala sesuatunya," kata Fachmi.
Pada Senin (9/3), Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan uji materi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang jaminan kesehatan yang menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2020.
Uji materi tersebut diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) karena menilai kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu tidak disertai dengan alasan yang logis.
Dalam putusannya, MA menyatakan pasal 34 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal tersebut mengatur iuran peserta bukan penerima upah (PPBU) dan peserta bukan pekerja (BP) menjadi Rp 42 ribu per orang per bulan dengan manfaat pelayanan ruang perawatan kelas III. Kemudian, iuran sebesar Rp 110 ribu dengan manfaat ruang perawatan kelas II dan iuran sebesar Rp 160 ribu dengan manfaat ruang perawatan kelas I.