REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) minta kelonggaran ketentuan administratif dalam menghadapi perlambatan ekonomi saat ini. Ketua Umum AAUI, HSM Widodo menyampaikan asosiasi masih perlu menyusunnya untuk nanti diajukan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Seperti yang sudah juga pada perbankan, di asuransi juga kita sudah diskusi perlu kelonggaran, tapi masih perlu diperjelas," katanya di usai Kongres AAUI ke-VI di Jakarta, Rabu (11/3).
Dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, potensi tagihan macet meningkat. Sehingga bisa mengganggu kesehatan keuangan perusahaan yang ditunjukkan pada Risk based Capital (RBC). OJK mewajibkan semua perusahaan asuransi memiliki RBC minimal sebesar 120 persen.
Widodo mengatakan kekayaan yang diperkenankan atau dicatat di perusahaan meliputi tagihan yang masih di bawah 60 hari. Relaksasi bisa dilakukan dengan memperpanjang batas jadi lebih dari dua bulan, sehingga memungkinkan relaksasi kepada customer.
"Itu yang nanti mau kita bicarakan di asosiasi, apakah bisa kalau kita melakukan relaksasi ke customer karena memang mereka tidak ada uang," katanya.
Kelonggaran untuk customer bisa pada tagihan, angsuran, maupun jatuh tempo. Widodo mengatakan ini lebih baik daripada harus melakukan pembatalan polis. Sektor yang benar-benar berisiko saat ini karena tidak punya cashflow, menurutnya, adalah properti perhotelan.
Direktur Eksekutif AAUI, Dody Dalimunthe menambahkan relaksasi untuk perhitungan RBC memang dibutuhkan. Aset premi yang diakui seperti yang tersebut diatas diharapkan yang usia piutangnya bisa lebih dari dua bulan.
"Dengan kondisi seperti ini akan banyak premi-premi yang tertunda, jadi kita harapkan ada relaksasi," katanya.
Aset premi yang masuk sebagai aset yang diakui diharapkan bisa direlaksasi dan tidak terlalu kaku. Ini akan menunjukkan adanya keberpihakan ke industri asuransi pada kondisi seperti saat ini.