REPUBLIKA.CO.ID, Dukungan bangsa Indonesia terhadap perjuangan bangsa-bangsa Arab, bukanlah dukungan yang begitu saja muncul. Dukungan itu memiliki akar historis panjang.
Pakar sejarah Islam, Prof Azyumardi Azra, dalam bukunya "Jaringan Lokal dan Global Islam Nusantara" menegaskan, hubungan Indonesia dengan bangsa-bangsa Arab telah terjalin sejak abad ke-17.
Ketika itu, kata rektor UIN Jakarta ini, hubungan lahir akibat interaksi langsung maupun tak langsung dari para ulama Indonesia yang belajar Islam di Mekah dan Mesir khususnya. Merekalah yang berandil besar dalam membangun jalinan awal Indonesia-Arab.
Hubungan terus berkembang, terutama melalui mahasiswa yang banyak menuntut ilmu di Universitas Al Azhar, Mesir, dan beberapa institusi pendidikan di negara-negara Arab lainnya.
Sejak 1923 para pemuda Indonesia telah menuntut ilmu di Mesir. Mereka mendirikan organisasi Jamiyyah Khairiyah Lit Tholabatil Azhariyatil Jawiyah sebagai wadah menyatukan persepsi dan upaya aktualisasi potensi.
Jamiyyah ini diperkuat dengan keputusan pemerintah Mesir nomor 323, tanggal 14 September 1923, yang mengijinkan operasionalisasi. Selain menuntut ilmu, mereka juga ikut berjuang melawan penjajah Belanda.
Dukungan lainnya, para pelajar menggalang kekuatan dengan berbagai kalangan dan organisasi, seperti organisasi Liga Arab, Ikhwanul Muslimin, organisasi Pemuda Mesir, dan Serikat Buruh. Upaya ini berhasil dengan pernyataan mereka yang mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Sekjen Liga Arab, saat itu, Dr Abdurrahman Azzam Pasya, terus membicarakan masalah Indonesia dengan sejumlah pejabat tinggi Mesir.
Pertemuan intensif dilakukan wakil pelajar Indonesia dengan pimpinan Serikat Buruh di Suez, Port Said dan Ismailiya. Serikat pekerja lalu melakukan aksi mogok buruh Mesir yang tidak mau melayani kapal-kapal Belanda di terusan Suez.
Saat Perang 1967, para pelajar Indonesia juga bergabung dengan sukarelawan Mesir berangkat ke Palestina melawan penjajah Israel.
Ketika Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, para mahasiswa membentuk 'Perhimpunan Kemerdekaan Indonesia' yang diketuai Prof Dr Kaharuddin Yunus.
Hubungan yang baik antara Jam'iyyah dengan Sekjen Liga Arab Dr Azzam dan Ketua Subbanul Muslimin Mesir Jenderal Saleh Harb melahirkan kesepakatan untuk membentuk 'Komite Pembela Indonesia' yang diketuai Dr Azzam dan Dr M Shalahuddin sebagai penasihatnya.
Liga Arab dalam sidangnya tanggal 18 November 1946 di Alexandria, Mesir, yang dipimpin Dr Fadhil Jamal (delegasi Irak) menyatakan keputusan sidang memberikan dukungan dan pengakuan terhadap Republik Indonesia.
Pada 13 Maret 1947, melalui blokade Belanda yang sangat ketat, utusan resmi pemerintah Mesir, Mohammed Abdul Mun'im (konsul jendral Mesir di Bombay, India) berhasil mendarat di bandara Maguwo, Yogyakarta, untuk menyampaikan pengakuan resmi Liga Arab.
Dan pada 10 Juni 1947 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Indonesia dan Mesir. Indonesia diwakili Menlu H Agus Salim.
Perjanjian dilanjutkan dengan pembukaan kantor perwakilan/kedutaan RI di Cairo dengan duta besar pertamanya, Prof HM Rasyidi, dengan stafnya para pelajar setempat. Itu sebabnya dapat dipahami bila umat Islam Indonesia konsisten membela bangsa-bangsa Arab termasuk Palestina dan Irak.