Kamis 12 Mar 2020 17:46 WIB

Pakar Sebut Permohonan Maaf Raja Belanda Sudah Tepat

Pakar hukum internasional menyebut Belanda juga pernah minta maaf.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Yudha Manggala P Putra
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Raja Belanda Willem Alexander menyampaikan pernyataan pers saat kunjungan kenegaraan di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/3/2020).(Antara/Sigid Kurniawan)
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Raja Belanda Willem Alexander menyampaikan pernyataan pers saat kunjungan kenegaraan di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/3/2020).(Antara/Sigid Kurniawan)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar hukum internasional dari Universitas Airlangga Iman Prihandono menanggapi permintaan maaf yang dilakukan Raja Belanda Willem Alexander kepada pemerintah Indonesia. Menurut Iman, permintaan maaf yang dilayangkan Belanda terhadap pemerintah Indonesia, bukan pertama kalinya.

"Dari kalimat pidatonya itu kan dia mengulangi apa yang sudah disampaikan pemerintah Belanda sebelumnya. Jadi ini bukan yang pertama kali pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf secara formal. Ini bukan isu baru yang harus jadi besar karena dulunya sudah pernah dan itu resmi," kata Iman kepada Republika, Kamis (12/3).

Kalimat yang disoroti Iman dalam permintaan maaf Willem Alexander adalah excessive violence (kekerasan yang berlebihan). Dimana Willem Alexander meminta maaf atas kekerasan yang berlebihan terhadap rakyat Indonesia pada masa peperangan.

"Dalam peperangan violence itu pasti terjadi, ada orang tertembak, terbunuh, dan lain-lain. Tapi yang jadi permasalahan kalau violence-nya excessive. Jadi dalam hukum internasional ini (yang dilakukan Raja Belanda) sudah benar," ujar Iman.

Willem Alexander sebagai seorang raja Belanda, yang mengulangi permohonan maafnya terhadap pemerintah Indonesia, menunjukkan keseriusan bahwa pemerintah Belanda menunjukkan penyesalan. Permintaan maaf yang dilakukan juga dinilainya tepat, karena difokuskan terhadap excessive violence pada waktu penjajahan Belanda berjalan.

Dalam hukum internasional, kata Iman, apa yang dilakukan oleh Willem Alexander dikenal dengan reparation atau perbaikan. Negara yang melanggar hukum internasional, dalam hal ini excessive violence, maka timbul kewajiban untuk melakukan reparation.

Reparation dalam hukum internasional ada bermacam-macam bentuknya. Seperti restitution (ganti rugi), compensation, rehabilitation, satisfaction, dan ada jaminan untuk tidak mengulangi. Apa yang dilakukan Raja Belanda dalam kasus ini masuk masuk dalam jenis satisfaction.

"Ini juga gak bisa dianggap enteng. Ini penting. Bagian dari reparasi bahwa mereka mengakui terjadi pelanggaran. Pengakuan itu bagi negara yang dilanggar hak-haknya itu kadang kala sudah cukup. Itu penting dan gak banyak negara mau melakukan itu," ujar Iman.

Menurut Iman, Indonesia bisa saja mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice), jika merasa ada permasalahan-permasalahan yang menyangkit dua negara, yang belum selesai. Tapi, kata dia, dalam kasus ini, kemungkinannya sangat kecil untuk Indonesia mengajukan gugatan. Karena tidak ada kasus yang begitu besar sehingga membuat indonesia bisa membawa perkara ke ICJ.

"Yang memungkinkan adalah korban. Karena untuk kejahatan perang itu gak ada batas waktu. Sudah ada dua kasus yang satu sudah diputus yang Rawagede, dan yang Westerling di Sulawesi Selatan," kata Iman.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement