REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, permintaan maaf Raja Belanda Willem Alexander mengenai Agresi Militer I dan II pascaproklamasi tak akan memberikan dampak apapun terhadap Indonesia. Ia menilai permintaan maaf Raja Belanda hanya penyesalan tindakan aparat pada waktu itu karena melakukan tindakan eksesif.
"Seperti biasa kok. Enggak ada dampaknya, itu cuma dari Raja mengatakan bahwa dia menyesalkan tindakan dari para aparatnya pada waktu itu karena melalukan tindakan yang eksesif," kata Hikmahanto saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (12/3).
Selama ini, ia mengatakan, Pemerintah Belanda bersikukuh menyatakan tindakan tentara pada periode 1945-1949 tindakan polisional. Tindakan itu terjadi pada kasus pembantaian oleh tentara Belanda pimpinan Raymond Westerling dan peristiwa pembantaian Rawagede.
Menurut Hikmahanto, pada waktu itu Belanda melakukan tindakan polisional yang berlebihan untuk menumpas para pemberontak. Belanda tak mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sehingga para tentara Belanda membantai warga yang mereka anggap sebagai pemberontak. Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia empat tahun kemudian, tepatnya pada 27 Desember 1949.
Di sisi lain, ia menambahkan, Indonesia tak perlu menuntut Belanda atas Agresi Militer I dan II pascaproklamasi. Sebab, sejak zaman Presiden Soeharto, negara telah diberikan kompensasi oleh Belanda berupa pinjaman.
Namun, korban-korban pembantaian agresi militer Belanda seperti peristiwa di Rawagede secara pribadi dapat menuntut Belanda. "Kalau menuntut sih enggak lah, kalau menuntut kan kalau, negara sudah diberikan kompensasi sama Belanda, dulu waktu di zaman Pak Harto dibantu untuk dikasih pinjaman dan sebagainya," ujar Hikmahanto.
"Tetapi kalau misalnya pribadi-pribadi kayak di Rawagede ya bisa aja nuntut," lanjut dia.