Kamis 12 Mar 2020 19:16 WIB

Melihat Demokrasi Madinah (3)

Praktik komunitas awal Islam bercorak demokratis.

Rep: Harun Husein/ Red: Muhammad Hafil
Melihat Demokrasi Madinah, Foto: Masjid Nabawi di Kota Madinah al-Munawarah
Foto: Republika/Syahruddin El-Fikri
Melihat Demokrasi Madinah, Foto: Masjid Nabawi di Kota Madinah al-Munawarah

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Komunitas awal dan nilai-nilainya, yang di Indonesia kerap disebut dengan istilah masyarakat madani, ini, juga merupakan masyarakat yang sangat toleran dan melibatkan semua pihak. Itu antara lain terlihat dari adanya Piagam Madi nah, yang di dalamnya menyebut semua kaum di Madinah, termasuk kaum Yahudi, sebagai umat yang satu (ummatan wahidah). Piagam Madinah (Mitsaq al- Madinah) ini pun diakui oleh para ahli di Barat dan Timur sebagai konstitusi tertulis pertama di muka bumi.

Pemikir politik Islam, Abul A’la Mau dudi, dalam bukunya Khilafah Bukan Kerajaan, menyatakan di antara cirri-ciri sistem khilafah tersebut adalah terwujudnya kemerdekaan yang sempurna untuk mengkritik dan mengeluarkan pendapat, di mana dalil yang benarlah yang dimenangkan. Para khalifah tidak pernah menutup diri dari rakyat banyak. Mereka tinggal di tengah-tengah rakyat, rakyat pun bisa bertemu mereka saat bermusyawarah, saat shalat lima waktu.

Baca Juga

Kegagalan komunitas awal, dan kembalinya prinsip-prinsip organisasi sosial ke era pra-Islam, kata Bellah, justru merupakan bukti tambahan dari betapa modernnya eksperimen tersebut. “Terlalu modern untuk sukses. Infrastruktur sosial yang diperlukan belum tersedia untuk menjamin keberlanjutannya,” kata Bellah.

Bellah menunjuk ketika terjadi ketidakpuasan kepada Khalifah Utsman bin Affan, infrastruktur sosial saat itu masih terlalu rapuh untuk menahannya dan menghadapinya. Rangkaian kekacauan politik pada era Usman dan Ali yang dalam sejarah disebut dengan istilah Fitnah Pertama, itu, akhirnya berbuntut pada berdirinya kerajaan berdasarkan keturunan, di bawah Bani Umayyah.