REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi menyindir pemerintah Indonesia yang menurutnya hingga kini Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) belum menyurati India soal UU Kewarganegaraan. UU ini dinilainya diskriminatif terhadap warga Muslim India karena mereka terancam kehilangan kewarganegaraan.
"OIC (Organisasi Kerjasama Islam) sudah mengirim surat (terkait UU Kewarganegaraan India), AS juga sudah mengirim surat, beberapa negara Eropa sudah bersurat ke Narendra Modi (Perdana Menteri India), agar membatalkan UU Kewarganegaraan itu, tapi tidak digubris oleh India. Indonesia? Wallahu a'lam bisshowab," ujar dia di kantor MUI, Jakarta, Kamis (12/3).
Menurut Muhyiddin, Indonesia belum bersikap apa-apa soal UU Kewarganegaraan India. "Belum ada, Indonesia hanya (bersikap) pada kasus Jammu dan Kashmir, Indonesia minta agar India dan Pakistan menahan diri," papar dia.
Muhyiddin menjelaskan, Narendra Modi adalah aktor intelektual berdirinya Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), sebuah organisasi sukarelawan nasionalis Hindu sayap kanan India. Menurut Muhyiddin, RSS adalah kelompok Hindu ekstremis radikalis yang berhasil mendorong Modi menjadi PM India.
"Tahun 2002 di bawah kepemimpinannya 1.000 Umat Islam dibunuh, bayangkan, terus namanya populer karena buzzer-buzzer Narendra Modi pengikutnya semakin banyak, dia menggunakan kekerasan hingga mencapai kekuasaan. Terpilihlah dia sebagai PM India," jelasnya.
Muhyiddin menambahkan, saat itulah kemudian agenda besar mereka yaitu untuk menjadikan India sebagai negara Hindu. Masjid-masjid pun dihancurkan, salah satunya Masjid Babri, Ayodhya, India. "Masjid Babri yang dihancurkan hingga sudah rata dengan tanah dan umat Islam dikasih kompensasi di zamannya," ucap dia.
Kemudian, lanjut Muhyiddin, Modi juga mengeluarkan kebijakan diskriminatif terhadap Muslim India melalui amandemen UU Kewarganegaraan. Dia mengatakan bahwa UU ini sama sekali tidak memberi hak kewarganegaraan kepada Muslim yang tinggal di negara tetangga India.
"Non-Muslim yang tinggal di Pakistan, Mongolia, di negara tetangga India, diberikan kewarganegaraan India. Sementara umat Islam yang lahir di India yang tidak mampu menghadirkan dokumen akta kelahirannya dianggap stateless tidak punya kewarganegaraan dan akan dikirim ke camp-camp konsentrasi atau camp penahanan. Inilah yang terjadi maka kita menganggap ini merugikan umat Islam India," paparnya.
Apalagi, Muhyiddin mengatakan belum melihat adanya sikap yang ditunjukkan pemerintah Indonesia melalui Kemenlu terhadap kekerasan di India yang menimpa Muslim. Dia menilai Kemenlu takut dan ragu untuk mengeluarkan sikapnya terkait kekerasan tersebut.
"Saya melihat Kemenlu takut dan ragu untuk bersikap terhadap India, karena India adalah sponsor dari berdirinya negara non-Blok. Ya mungkin ada lagi alasan lain. Karena itu, dengan alasan yang menyesal kita belum melihat keputusan dari Kemenlu," tutur dia.