Kamis 12 Mar 2020 22:25 WIB

KH Munasir Ali, Komandan Perang NU di Era Kemerdekaan (1)

KH Munasir Ali aktif berkarier di militer.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
KH Munasir Ali
Foto: Tangkapan layar wordpress.com
KH Munasir Ali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kontribusi para ulama dan kiai dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata. Para ulama beserta santrinya yang tergabung dalam organisasi Hizbullah pada saat itu mampu melawan penjajah dan mengusirnya dari bumi nusantara.

Salah satu kiai yang yang menjadi komandan di era kemerdekaan adalah KH Munasir Ali. Selama perang kemerdekaan, ia aktif berjuang dan berkarir di dunia kemiliteran. Kariernya dimulai dengan mengikuti latihan kemiliteran prajurit Jepang dengan masuk sebagai anggota penerangan Heiho.

Kiai Munasir aktif sebagai pasukan Hizbullah dengan menjadi Komandan Batalyon Condromowo dan ikut berperan dalam mendirikan Hizbullah Cabang Mojokerto. Ketika Hizbullah melebur ke dalam barisan TNI, ia pun terdaftar sebagai anggota aktif, hingga akhirnya diangkat menjadi Komandan Batalyon 39 TNI AD.

Dalam skripsinya yang berjudul “KH. Muhammad Munasir Ali : Studi Tentang Perannya dalam Perjuangan Kemerdekaan RI di Jawa Timur Tahun 1942-1950”, Siti Zubaidah menjelaskan, Munasir Ali adalah salah satu kiai yang sekaligus merupakan pengurus Nahdlatul Ulama (NU).

Teman-temannya maupun masyarakat kerap memanggilnya Pak Yai Munasir, tapi ada juga yang cukup memanggil Pak Sir. Ia lahir pada 2 Maret 1919 di Desa Mojopuro, sebuah desa kecil yang terletak sebelah barat Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerjo.

Ayahnya bernama Haji Ali, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Mojopuro. Sejak dilahirkan, Munasir sudah dihadapkan dengan kehidupan dunia yang keras, penuh tantangan dan perjuangan di zaman penjajahan.

Dalam sejarah pendidikannya, Kiai Munasir pernah menempuh pendidikan di Hollandsh Inlandsche School (HIS) di Mojokerto pada 1933. Kemudian, ia menimba ilmu agama di sejumlah pesantren, seperti Pondok Pesantren Trowulan Mojokerto, Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang (1933-1936), dan Pesantren Kasingan Rembang (1936-1939).

Tidak hanya dikenal rajin, Munasir tergolong santri yang cerdas. Selain menguasasi disiplin keilmuan agama dan pengetahuan umum, ia juga menguasai bahasa Arab dan Belanda. Karena itu, saat nyantri di Tebuireng ia direkrut oleh KH. Wahid Hasyim sebagai kader inti yang tergabung dalam Madrasah Nidzomiyah.

Munasir memiliki semangat yang membara dalam menimba ilmu. Setelah belajar di Jombang dan Rembang, dia pun masih sempat meneruskan pencarian ilmunya ke Pesantren Djamsaren, Solo, Jawa Tengah. Selanjutnya, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Watu Congol, Muntilan, Magelang  dan kembali lagi menimba ilmu di Kasingan, Rembang.

Setidaknya ada tiga manfaat yang didapatkan Munasir saat berada di pesantren. Pertama, ia bisa mendalami berbagai disiplin keilmuan. Kedua, bisa menempa moralitas dan kepribadiannya. Sedangkan yang ketiga, bisa menjalin jaringan dengan berbagai tokoh lain, yang kemudian menjadi mitra perjuangannya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement