Kamis 12 Mar 2020 22:26 WIB

KH Munasir Ali, Komandan Perang NU di Era Kemerdekaan (2)

KH Munasir Ali aktif berkarier di militer.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
KH Munasir Ali(Tangkapan layar wordpress.com)
Foto: Tangkapan layar wordpress.com
KH Munasir Ali(Tangkapan layar wordpress.com)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat menjadi santri, Kiai Munasir mempelajari ilmu agama dan juga ilmu nahwu, jurumiyah, tajwid, Tafsir Jalalain, dan kitab Ta’lim Mutaallim. Setelah selesai menimba ilmu di sejumlah pesantren, Kiai Munasir langsung terjun ke tengah-tengah masyarakat dan menjadi guru di madrasah yang dibangun oleh ayahnya.

Di samping itu, Kiai Munasir juga aktif di organisasi NU. Dengan bekal keilmuannya yang luas, dia pun dipercaya untuk membuat NU menjadi lebih maju. Jabatan pertama kali yang diembannya adalah sebagai Ketua Pertanian NU (Pertanu).

Baca Juga

Pada 1940 sampai 1942, Kiai Munasir kemudian menjabat sebagai Ketua Kring Jamiyah Nahdlatul Ulama Kabupaten Mojokerto, yaitu cabang NU tingkat desa. Pada masa ini, Kiai Munasir bersilaturrahim ke rumah-rumah warga untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya pendidikan.

Pada 1943, Kiai Munasir kemudian diberikan amanah sebagai Pimpinan Anshor NU Jawa Timur. Saat NU menjadi partai, dia pun menjabat sebagai Komisaris Partai NU daerah Karesidenan Surabaya pada 1956.

Posisi lainnya yang pernah dijabatnya saat aktif di NU antara lain, Waki Ketua PB Pertanian NU (Pertanu) pada 1958 sampai 1979, Sekretaris Jenderal PBNU pada 1979, Ketua Mustasyar PBNU pada 1984, dan Rais Syuriah PBNU pada 1989.

Di bidang legislatif, Munasir pernah duduk sebagai anggota DPR periode 1967-1987. Sedangkan di bidang organisasi pertanian nasional, ia pernah menjabat sebagai salah satu ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) di bawah pimpinan Martono.

Selepas berkiprah di DPR, Kiai Munasir kemudian mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Dahlan Syafi’i di Mojokerto. Yayasan ini menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti TPA, TK, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.

Selama hidupnya, kiai Munasir dikarunia 14 orang anak dari dua istrinya, yaitu Maslihah dan Waqi’ah. Dari pernikahannya dengan Maslihah, Kiai Munasir dikaruniai dua orang putra. Setelah istri pertamanya itu meninggal, Kiai Munasir kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan berna,a Waqi’ah dan dikaruniai sebanyak 12 anak.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement