REPUBLIKA.CO.ID, KH Munasir Ali merupakan seorang ulama yang berpandangan luas dan penuh perjuangan. Kiai Munasir telah memainkan peran nyata dalam mengisi perjuangan di era kemerdekaan, khususnya di Jawa Timur. Semua itu tak lepas dari rasa patriotisme dan semangat jihad di jalan Allah.
Berkecamuknya revolusi mendorong Kiai Munasir untuk berjuang melalui kemiliteran. Pertama, ia mengikuti latihan Hizbullah di Cibarusa, setelah itu kembali ke kampung halamannya Mojokerto dan membentuk kesatuan Hizbullah.
Sebagai ulama, Kiai Munasir memiliki keyakinan bahwa memerangi penjajah dan menegakkan agama Allah adalah suatu kewajiban. Karena itu, Kiai Munasir dan para ulama Mojokerto pada masa itu menyerukan kepada para pemuda Islam Mojokerto untuk mengikuti latihan kemiliteran Hizbullah.
Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Kiai Munasir menginstruksikan kepada para pemuda barisan Hizbullah agar menyebarluaskan berita kemerdekaan itu ke daerah-daerah pedalaman Kabupaten Mojokerto.
Dengan berita yang menggemberikan itu, semangat masyarakat Mojokerto semakin tinggi untuk mempertahankan kemerdekaan dan anggota laskar Hizbullah pun semakin bertambah banyak. Laskar Hizbullah akhirnya berhasil didirikan di hampir semua kecamatan.
Setelah mendapatkan instruksi dari Pemerintahan Jawa Timur, Kiai Munasir bersama pasukan Hizbullah dan pejuang Mojokerto lainnya pernah berperan dalam melakukan perampasan senjata Jepang. Pelucutan senjata tersebut berjalan lancar tanpa ada perlawanan sedikit pun dari tentara Jepang.
Di samping sebagai pimpinan Hizbullah, Kiai Munasir juga pernah menjabat sebagai Staf Dewan Perjuangan Daerah Surabaya (DPDS) yang kemudian membentuk Tentara Rakyat Djelata (TRD) dengan anggota 2000 orang.
Untuk mempertahankan kemerdekaan, Kiai Munasir pun membentuk kelaskaran Hizbullah di setiap kecamatan di Mojokerto. Belum lama menikmati manisnya kemerdekaan, ternyata tentara sekutu datang lagi ke Indonesia dan membombardir Kota Surabaya pada 10 November 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Pada saat perang 10 November itu, Laskar Hizbullah yang dipimpin Kiai Munasir melepaskan 120 orang untuk membantu rakyat Surabaya dalam melawan penjajah. Iringan doa dan suara adzan pun mengiringi kepergian para pejuang tersebut untuk mengusir penjajah.
Dalam peristiwa tersebut, awalnya para pejuang Indonesia dapat memukul mundur tentara sekutu. Namun, setelah terjadi perjanjian Linggarjati, Belanda mengadakan penyerangan secara diam-diam, hingga akhirnya tentara sekutu berhasil menduduki Surabaya.
Ketika Hizbullah melebur ke dalam barisan TNI, Kiai Munasir diangkat menjadi Komandan Batalyon 39 Condromowo TNI pada 1948. Setelah kota-kota di Jawa Timur sudah dikuasasi oleh Belanda, Batalyon yang dipimpin Kiai Munasir akhirnya mundur dan membuat pertahanan di Desa Ngrimbi, daerah Wonosalam, Jombang.
Selanjutnya, Kiai Munasir melakukan penyerangan untuk menguasai Mojokerjo lagi. Dia pun membagi pasukannya menjadi dua kompi. Penyerangan tersebut berjalan lancar hanya dengan satu kompi dan kemudian menarik pasukannya kembali ke Jombang. Sedangkan kompi yang satunya lagi ditugaskan untuk membuat pos-pos pertahanan di sejumlah daerah.
Pada masa agresi Belanda II, Kiai Munasir bersama pasukannya juga berperan dalam membantu Divisi Hayam Wuruk untuk melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda di Pacet dan seluruh wilayah Mojokerjo sampai masuk ke Surabaya.
Kiai Munasir telah banyak merasakan pahit manisnya kehidupan selama perjuangannya. Kiai Munasir wafat di usianya yang ke-83 tahun pada Jumat, 11 Januari 2002 di RS Pelni Petamburan Jakarta. Di akhir hayatnya, pelbagai penghargaan pernah diberikan kepadanya mulai dari Satya Lentjana peristiwa Perang Kemerdekaan I dan II, Bintang Gerilya dan lain sebagainya.