REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Instrumen proteksi dan investasi sebaiknya dipisahkan dalam perencanaan keuangan. Perencana Keuangan Syariah, Luqyan Tamanni, menyampaikan pemilihan produk unitlink di asuransi syariah sebaiknya disesuaikan dengan profil masyarakat.
"Lebih baik terpisah, yaitu proteksi dengan asuransi jiwa atau tradisional dan investasi langsung dengan reksadana," kata dia kepada Republika, Jumat (12/3)
Sebenarnya, kata Luqyan, untuk memilih unitlink atau asuransi tradisional ditentukan dari kebutuhan nasabah akan produk keuangan dan sisi praktisnya saja. Maksudnya, jika memang butuh produk investasi plus proteksi, maka unitlink memang tepat.
Tetapi, jika dilihat dari segi manfaat proteksi dan return investasi yang optimal, unitlink dinilai kurang tepat. Luqyan mengatakan untuk urgensinya, ia menyarankan asuransi kesehatan lebih penting atau mendesak. Bisa melalui BPJS Kesehatan yang wajib saja atau tambahan.
"Apalagi biaya perawatan kesahatan semakin tinggi," kata dosen di Institut Tazkia ini.
Menurutnya, lebih populernya unitlink di industri asuransi karena agen asuransi lebih agresif dari agen investasi, macam reksadana atau saham. Edukasi dan pemahaman menjadi penting untuk seseorang memilih produk keuangan.
Selama ini, masyarakat masih ragu untuk masuk langsung ke reksadana atau saham. Ada rasa takut atau trauma nilainya turun. Masyarakat umumnya masih belum terbiasa berinvestasi, yang bisa untung dan rugi.
Padahal, nilai portofolio unitlink di investasinya juga bisa turun. Selain itu, proteksinya juga kalau terjadi sesuatu yang dapat menimbulkan klaim. Jadi bukan proteksi turunnya nilai NAB.
"Selain itu, unitlink biasanya main di deposito, sementara reksa dana bervariasi, ada di saham, pasar uang, sukuk, dan deposito," kata Luqyan.
Sebelumnya, Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menyampaikan produk unitlink masih mendominasi sesuai trennya. Ketua Umum AASI, Ahmad Syahroni menyampaikan komposisinya memang belum jelas, namun sesuai tren unitlink lebih populer dan cukup menjadi andalan.