REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Ketika pria bersenjata itu berjalan ke masjid Al Noor, Temel Atacocugu bersujud dalam salat Jumat. Dia mendongak ke wajah pria itu, mengira dia adalah seorang polisi karena pakaian paramiliternya.
Waktu melambat. Atacocugu melihat kepulan asap datang dari pistol yang terangkat, merasakan sebutir peluru menembus giginya dan berpikir 'Ya Tuhan, aku akan mati'.
Tapi waktunya di dunia belum habis. Meski ditembak sembilan kali, Atacocugu selamat dari serangan 15 Maret di Masjid Al Noor kota Christchurch, Selandia Baru.
Beberapa hari lagi peringatan setahun penembakan massal terhadap 51 orang meninggal dunia dan Atacocugu masih berjuang mengobati cedera fisik dan psikologisnya. Peristiwa penembakan itu masih diingat jelas olehnya.
Pada hari penyerangan, pria yang mencintai sepak bola, memancing, dan berlari itu baru saja menyelesaikan sesi akupunktur terakhirnya untuk cedera olahraga dan merasa sangat bugar. Namun, dia harus berhadapan dengan seorang yang mengancam nyawa dan berusaha menghindar dengan insting yang didapatkannya melalui pelatihan wajib militer di Turki.
Sosok berusia 45 tahun ini dengan cepat menyadari apa yang terjadi setelah tembakan pertama ke mulutnya. Dia melompat kaget dan ditembak empat kali lagi di kedua kakinya. Orang-orang berteriak. Seorang jamaah lain menyerbu si penembak dan terbunuh, tetapi itu memberi Atacocugu beberapa detik untuk bereaksi, dan berlari secepat yang dia mampu.
Tidak ada jalan keluar yang jelas sehingga Atacocugu memutuskan berbaring tidak bergerak di lantai. Dia kemudian ditembak empat kali lagi di lengan dan kaki kirinya ketika pria bersenjata itu menembak tanpa pandang bulu ke tumpukan tubuh yang sudah tergeletak.
Staf medis kemudian memberitahu bahwa Atacocugu sangat beruntung karena peluru yang mengenai rahang atasnya, membelok ke bawah daripada melanjutkan ke otak atau arteri. Namun, Atacocugu menghabiskan satu bulan di rumah sakit dan menjalani empat operasi yang mencakup cangkok tulang dan kulit. Dia akan membutuhkan setidaknya tiga operasi lagi di masa yang akan datang.
"Perubahan terbesar setelah serangan itu adalah saya tidak bisa bebas sama seperti sebelumnya. Karena bergerak sangat terbatas. Dan saya merasa seperti bayi kecil karena seseorang harus menjaga saya setiap saat," kata Atacocugu.
Dengan operasi dan proses pemulihan selama hampir setahun, kekuatan fisik Atacocugu mulai kembali. Dia sudah tidak menggunakan kursi roda dan tongkat penyangga. Meski lengan kirinya melemah, dia dapat berjalan menyusuri jalan dan bermain dengan anjing Labradoodle-nya, Max, dengan baik.
Bahkan, beberapa pekan lalu, Atacocugu mulai bermain sepak bola lagi bersama sekelompok teman-temannya. Dia memamerkan keahliannya dengan tackling, menendang, dan memberi umpan.
Walau fisik dengan cepat kembali, pemulihan mental Atacocugu membutuhkan waktu lebih lama. Dia telah berkonsultasi dengan psikolog yang membantunya bekerja melalui gambar dan kilas balik yang masih menghantuinya. "Dia berusaha mengeluarkan titik gelap dari otakku," kata Atacocugu.
Atacocugu telah mengalami serangan depresi dan menggunakan antidepresan hingga kemungkinan satu tahun ke depan. Kemampuan berkonsentrasi dan berkomunikasinya pun terpengaruh sejak penembakan sehingga dia berpikir untuk memulai kehidupan yang baru dengan kondisinya saat ini.
Langkah pertama dengan mencoba menjual saham toko kebab yang sudah dijalankannya. Bisnis tersebut menyulitkan karena Atacocugu harus berhadapan dengan banyak pelanggan. Ketimbang menjadi gelisah, dia mempertimbangkan untuk menjalankan keahliannya sebagai pelukis dan dekorator.
Selanjutnya, Atacocugu baru-baru ini mengajukan penawaran untuk membeli rumah baru di Christchurch. Rumah lama yang ditempatinya memang berada di dekat dua putranya yang masih remaja tetapi dia ingin melakukan awal yang baru.
Selama setahun penuh perjuangan untuk pulih, Atacocugu mengaku banyak hal baru dan berkesan pula terjadi pada hidupnya. Dia dapat berhaji dengan 200 orang yang selamat dari peristiwa penembakan atas undangan Raja Salman.
Selain itu, Atacocugu mengaku berhasil menaklukan ketakutannya akan hiu yang sudah dirasakannya sejak kecil. Beberapa bulan yang lalu, dia berhasil berenang bersama hiu putih meski dengan penghalang sangkar yang melindunginya.
Atacocugu pun berencana untuk menghadiri persidangan pelaku berasal dari Australia berusia 29 tahun itu. Pria itu menyatakan tidak bersalah atas tuduhan terorisme, pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Persidangannya dijadwalkan akan dimulai Juni. Jika terbukti bersalah, dia menghadapi hukuman penjara seumur hidup.
"Sebagai manusia, ya, aku sangat marah. Namun, juga, jauh di lubuk hati saya, agama saya membuat tenang dan bersabar. Jadi saya tahu sistem hukum Selandia Baru akan menghukum orang ini, teroris ini, sebanyak mungkin, di bawah hukum," kata Atacocugu.