Sabtu 14 Mar 2020 04:33 WIB

Jalan Perubahan Setelah Setahun Penembakan Christchurch

Setahun setelah penembakan masjid di Christchurch banyak perubahan terjadi

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Berbagai elemen masyarakat membuat tirai manusia ketika umat muslim melaksanakan sholat jumat pertama pascapenembangan di dua masjid kota Christchurch pada Jumat (15/3) di Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Jumat (22/3/2019).(Antara/Ramadian Bachtiar)
Foto: Antara/Ramadian Bachtiar
Berbagai elemen masyarakat membuat tirai manusia ketika umat muslim melaksanakan sholat jumat pertama pascapenembangan di dua masjid kota Christchurch pada Jumat (15/3) di Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Jumat (22/3/2019).(Antara/Ramadian Bachtiar)

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Sebanyak 51 orang meninggal dunia dengan puluhan cedera ketika seorang pria bersenjata menyerang dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, tahun lalu. Warga Selandia Baru akan mengenang korban pada hari peringatan pembunuhan massal pada Ahad (15/3).

Peristiwa itu masih menyimpan kisah keluarga yang ditinggalkan. Salah satunya Aya Al-Umari. Kakak Aya, Hussein, meninggal dunia dalam serangan di masjid Al Noor pada tahun lalu.

Baca Juga

Ketika Aya pertama kali mendengar ada penembakan di masjid, dia bergegas ke rumah saudaranya dan kemudian ke Rumah Sakit Christchurch. Dia berharap menemukan sesuatu, apa saja, tentang saudara laki-lakinya.

Namun setiba di rumah sakit, Aya dihadapkan dengan pemandangan yang luar biasa. Anak-anak menangis, orang dewasa berlumuran darah. Kondisi yang sangat sulit dicerna untuk dipahami olehnya. Aya melihat seorang polisi wanita, yang menenangkannya, menyuruhnya pulang dan berjanji akan memperbarui kabar setiap jam.

Kebaikan petugas itu dan petugas lainnya telah mengilhami Aya untuk mempertimbangkan perubahan karier. Analis kredit di sebuah bank ini berharap untuk bergabung dengan kepolisian dan bekerja pada kejahatan keuangan.

"Saya pikir, melalui ini, itu benar-benar mengubah perspektif Anda dalam hidup. Dan seumur hidup, semuanya dari A hingga Z," kata Aya.

Setelah peristiwa penembakan, Aya belajar teknik bela diri melalui kursus seni bela diri. Ia mengatakan tidak peduli seberapa sibuk kegiatan, dia selalu memastikan untuk menghabiskan waktu bersama orang tuanya. Aya tidak pernah berhenti memikirkan Hussein, yang merupakan satu-satunya saudara kandungnya.

Aya membawa foto yang menampilkannya dengan kakak berusia 35 tahunnya itu ketika menunaikan ibadah haji pada Agustus tahun lalu. Dia adalah satu dari 200 korban dan kerabat serangan Christchurch yang melakukan perjalanan ke Arab Saudi sebagai tamu Raja Salman.

"Setiap hari aku merasa seperti Hussein bersamaku. Setiap keputusan yang saya buat, saya hanya memikirkan, OK, apa yang akan dilakukan Hussein dalam situasi ini?" kata perempuan berusia 34 tahun ini.

Setelah kehilangan saudara satu-satunya, Aya telah merefleksikan rasisme yang dialami di Selandia Baru. Dia pertama kali memperhatikannya setelah 11 September 2001 ketika Amerika Serikat mengalami serangan teroris.

"Saya ingat di sekolah saya akan merasa seperti saya yang disalahkan atas apa yang terjadi. Orang-orang Muslim dinodai oleh satu usapan itu," kata Aya.

Aya pun kemudian diejek oleh teman-temannya, tetapi dia tidak melawan. Sekarang dia berpikir bahwa beginilah semuanya bermula, sebuah lelucon kecil, sebuah komentar yang tidak benar.

"Saya merasa saya juga bertanggung jawab karena saya tidak membela diri saya sendiri. Aku akan menertawakannya, sedangkan hal yang benar untuk dilakukan adalah, 'Ini tidak lucu. Bagaimana perasaan Anda jika saya mengatakan hal yang sama kepada Anda?'" ujar Aya.

Berbeda dengan Aya yang merasakan kehilangan atas peristiwa setahun lalu, Adib Khanafer membantu menyelamatkan nyawa seorang gadis berusia empat tahun yang tertembak di masjid Al Noor. Dia tidak tahu apa-apa tentang serangan masjid ketika dia segera dipanggil ke ruang operasi di Rumah Sakit Christchurch untuk menangani Alen Alsati.

"Mereka mengatakan ada pendarahan besar, jadi saya pergi. Awalnya sangat emosional melihat cedera mengerikan seperti itu. Saya melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan, memperbaiki pembuluh," ujar ahli bedah vaskular tersebut.

Gadis itu menghabiskan berminggu-minggu di rumah sakit anak-anak Auckland untuk pulih. Sekitar tujuh bulan setelah serangan, Khanafer diundang oleh keluarga Alsanti bergabung dengan mereka untuk makan malam A'la Palestina. Dia mengatakan Alen bersemangat dan menggoda putrinya sendiri.

"Saya mengatakan kepadanya bahwa Anda perlu menjadi dokter bedah, dan dia berkata, 'Tidak, saya ingin menjadi polisi wanita.' Dan saya berkata, 'OK, itu mengecewakan, tapi kami akan mengusahakannya, kami akan mengusahakannya'," ujar Khanafer.

Khanafer mengatakan,Alen sudah mulai sekolah dan dia yakin anak itu akan pulih sepenuhnya. "Saya tidak punya keprihatinan tentang Alen. Saya pikir dia akan menjadi gadis yang baik dan tangguh," katanya

Pria berusia 52 tahun ini memperhatikan perubahan dalam cara orang memperlakukan dia dan istrinya yang merupakan Muslim. Sebelum serangan, banyak orang di Christchurch tidak tahu banyak tentang Islam atau budaya Muslim.

Banyak orang sejak itu meluangkan waktu untuk membaca dan menambah informasi untuk diri sendiri. Khanafer memperhatikan beberapa perubahan besar.

"Orang-orang sekarang mengerti ada budaya yang berbeda, ada agama yang berbeda, ada perilaku yang berbeda," katanya. Setelah serangan, Khanafer melihat ada lebih banyak penerimaan dari masyarakat, terutama bagi perempuan seperti istrinya yang mengenakan jilbab.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement