REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumhur fuqaha (ulama ahli fiqih) sepakat shalat jenazah atas orang Islam yang wafat (selain mati syahid) hukumnya fardhu kifayah (kewajiban kolektif yang cukup dilaksanakan sebagian orang dalam suatu komunitas). Hal in didasarkan pada hadits sahih bahwa Rasulullah SAW mendatangi seseorang yang baru meninggal, lalu menyuruh umat Islam yang ada, "Shalatilah saudaramu itu" (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Tetapi fuqaha Hanafiyah mengecualikan beberapa orang yang jenazahnya tidak boleh dishalati, walaupun beragama Islam, antara lain, pemberontak terhadap pemerintah yang sah dan perampok/pembegal yang mati saat melakukan aksinya. Ini sebagai penghinaan terhadap mereka dan pemberian pelajaran penjeraan bagi yang masih hidup.
Fuqaha Malikiyah dan Syafi'iyah berpendapat tokoh agama hendaknya tidak menshalati jenazah ahli bid'ah dan pendosa besar yang sudah dikenal luas, sebagai pelajaran jera. Rasulullah SAW tidak berkenan menshalati jenazah orang yang mati bunuh diri (HR Muslim dll. dari Jabir bin Samurah). Bahkan beliau enggan menshalati jenazah yang masih memiliki utang.
Bagaimana halnya dengan jenazah koruptor? Bolehkah umat Islam tidak menshalatinya?
Prof Ahmad Zahro dalam bukunya Fiqih Kontemporer, fuqaha sepakat korupsi perbuatan yang merugikan banyak pihak dan bertentangan dengan maqashid asy-syari'ah (tujuan hukum Islam), karenanya amat dilarang dan berat hukumannya. Semua tindak kejahatan yang menimbulkan kerusakan atau kekacauan, termasuk korupsi, dapat diberlakukan hukuman mati.
Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah Al Maidah 33 yang maknanya: "Sungguh, balasan orang-orang yang memerangi (menentang) Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di muka bumi, haruslah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang, atau diasingkan. Yang demikian itu adalah hukuman yang menghinakan bagi mereka di dunia sedang di akhirat mereka akan mendapat siksa yang amat berat.
Kalau terhadap orang mati yang punya utang saja Nabi tidak berkenan menshalatinya; kalau terhadap orang yang mati bunuh diri yang sejatinya hanya merugikan diri sendiri saja Nabi juga tidak mau menshalatinya, apa lagi terhadap koruptor yang jelas-jelas merugikan banyak orang dan bisa menyebabkan kolapsnya suatu negara.
Maka, secara qiyas aulawi (analogi lebih kuat) jenazah koruptor lebih pantas tidak dishalati oleh umat Islam atau setidaknya jangan ada ulama yang menshalatinya. Dengan demikian, ini akan jadi pelajaran penjeraan bagi yang hidup agar menjauhi tindak pidana korupsi yang sangat tercela, amat merusak, dan jelas dosa besar itu.
Apakah hukum menshalatinya menjadi gugur? Tentu tidak gugur. Jenazah koruptor yang mengaku Muslim tetapi wajib dishalati, tetapi cukup dilakukan oleh keluarganya saja atau jika perlu biar dibantu oleh petugas setempat. Wallahualam.