Sabtu 14 Mar 2020 05:19 WIB

Upaya Umar Bujuk Abu Ubaidah Keluar dari Daerah Wabah (2)

Wabah penyakit pernah menerpa kaum Muslimin di era Umar bin Khattab.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Muhammad Hafil
Upaya Umar Bujuk Abu Ubaidah Keluar dari Daerah Wabah. Foto: Umar bin Khattab(Al Arabiya)
Foto: Al Arabiya
Upaya Umar Bujuk Abu Ubaidah Keluar dari Daerah Wabah. Foto: Umar bin Khattab(Al Arabiya)

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Keesokan harinya, usai memimpin shalat subuh Umar menyeru kepada seluruh peserta rombongan, Saya akan kembali ke Madinah, maka pulanglah kalian. Namun, keputusan Umar itu kemudian di debat oleh Abu Ubaidah. Pemimpin militer ini diketahui masih memiliki sejumlah pasukan di barak-barak tempur di Suriah.

"Wahai Umar, kita akan lari dari takdir Allah?" tanya Abu Ubaidah.

"Ya, lari dari takdir Allah menuju takdir Allah juga," jawab Umar.

Saat keduanya sedang beradu argumen, datanglah Abdurrahman bin Auf. Setelah mengetahui duduk perkaranya, Ibnu Auf lantas mengingatkan kepada mereka berdua ihwal sabda Nabi SAW:  "Jika ada wabah di suatu kota, janganlah kalian masuk.

Kalau kalian sedang ada di dalamnya, janganlah kalian lari keluar."

Mendengar nasihat itu, Umar makin merasa yakin. Ia dan para pengikutnya lantas beranjak pulang. Berbeda dengan sang khalifah, Abu Ubai dah tetap berijtihad untuk meneruskan perjalanan ke Suriah. Rupanya, ia ingin mendampingi seluruh pasukannya yang masih bertahan di sana.

Sesampainya di Madinah, berhari-hari lamanya Umar memikirkan keadaan rakyat di Syam. Pikirannya juga terpaut pada kabar Abu Ubaidah. Sungguh, Umar berharap ia kelak dapat menggantikannya sebagai amirul mukminin. Al-Faruq kemudian mengirimkan surat kepada Abu Ubai dah. Isinya mengajak yang bersangkutan agar segera menemuinya di Madinah. Alasannya, ada suatu masalah yang ingin dibicarakan secara empat mata.

Membaca surat itu, Abu Ubaidah sudah dapat menangkap maksud implisit Khalifah Umar. Sang amirul mukminin hendak membebaskannya dari cakupan wabah. Ia pun menulis surat balasan, "Saya sudah tahu tujuan Anda kepada saya. Saya berada di tengah-tengah pasukan Muslimin. Saya tidak ingin menjauhi mereka dan berpisah dengan mereka sampai nanti Allah menentukan keputus an-Nya untuk saya dan untuk mereka. Lepaskanlah saya dari kehendak Anda, wahai amirul mukminin, dan biarkanlah saya bersama dengan prajurit saya."

Ketika surat itu sampai di Madinah, Umar membacanya dengan air mata kesedihan. Bagaimanapun, Umar tak menyerah. Ia masih berupaya menyelamatkan seluruh rakyat dari wabah Amawas. Ia menulis lagi surat kepada Abu Ubaidah. Isinya menyarankannya agar memimpin rakyat setempat untuk pindah ke tanah yang tandus dan lebih tinggi. Belum sempat instruksi itu dilakukan, Abu Ubaidah meninggal dunia.

Muaz bin Jabal tampil sebagai penggantinya. Namun, ia pun ikut terserang wabah yang sama hingga wa fat beberapa hari kemudian. Posisinya digantikan oleh Amr bin Ash. Gubernur Mesir itu lantas berpidato di hadapan khalayak rakyat Suriah, Penyakit ini bila sudah menyerang, menyala bagaikan api.

Maka hendaknya kita berlindung dari penyakit ini ke bukit-bukit! Seluruh warga setempat mengikuti anjuran ini. Amr dan para pengungsi itu terus bertahan di dataran-dataran tinggi hingga sebaran wabah Amawas mereda dan hilang sama sekali. Amr kemudian berkirim surat ke Madinah. Khalifah Umar tak menyalahkan Amr yang mengambil kendali atas instruksinya kepada Abu Ubaidah.

Malahan, sang amirul mukminin mengapresiasinya. Ia merasa perintahnya sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sesudah mengetahui kabar tentang meredanya wabah Amawas, Umar pun berangkat menuju Suriah. Dengan segala upaya, ia memulihkan kembali kondisi seluruh warga, termasuk yang tinggal di pelosok daerah tersebut. Sang khalifah juga menentukan pemimpin militer pengganti Abu Ubaidah.

Setelah semuanya beres, ia hendak memimpin shalat berjamaah. Orang-orang menyarankan, alangkah baiknya bila azan kali ini dibawakan oleh Bilal bin Rabah. Memang, sudah lama sang juru azan itu tak mengumandangkan panggilan shalat lagi sejak wafatnya Rasulullah Muhammad SAW. Demi mendengar suara Bilal, seluruh Muslimin menangis. Ada perasaan rindu yang dalam terhadap Rasul SAW. Di antara mereka, Umarlah yang paling keras suara tangisannya.

Muhammad Husain Haekal memaparkan, wabah Amawas terus menjadi perhatian kalangan sejarawan, baik dari era abad pertama Hijriyah hingga kekinian. Para penulis dahulu beranggapan, wabah itu terjadi sebagai bentuk kemurkaan Allah kepada penduduk Suriah yang masih terpaut pada minum minuman ke ras. Sebelum wabah itu menyeruak, Abu Ubaidah di ketahui pernah bersurat kepada Khalifah Umar untuk melaporkan kebiasaan buruk sebagian warga setempat itu.

Ia juga menuturkan, beberapa tokoh lokal bahkan berani mendebatnya. Umar lantas memaklumkan, tiap orang yang kedapatan meminum khamr agar dihukum cambuk sebanyak 80 kali. Setelah surat Umar itu tiba dan diumumkan kepada khalayak, Abu Ubaidah berseru kepada orang-orang, Wahai penduduk Syam, akan terjadi sesuatu terhadap kamu sekalian!

Kalangan penulis klasik memandang, seruan Abu Ubaidah itu merupakan denting peringatan sebelum turunnya wabah Amawas. Akan tetapi, para penulis dari masa yang belakangan tak sepakat dengan pan dangan demikian. Logikanya, tak mungkin sahabat yang mulia seperti Abu Ubaidah mengharapkan datangnya musibah kepada 'seluruh' penduduk Suriah hanya karena perangai 'segelintir' orang yang gemar minuman keras.

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement