REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kerusuhan Delhi memaksa ribuan umat Muslim meninggal rumahnya masing-masing. Kerusan yang terjadi pada Senin (24/2) itu membuat mereka takut untuk kembali ke rumah.
Seperti dikutip CBS NEWS, Imran Khan, seorang buruh berusia 30 tahun, menceritakan bagaimana sekelompok massa di Timur Laut Delhi menyerangnya tanpa ampun. Ia meceritakan kejadian yang menimpa dirinya itu terjadi pada 24 Februari ketika pulang dari tempat pekerjannya.
Imran Khan menceritakan, saat itu yang pertama kali gerombolan massa itu lakukan adalah meminta identitas dirinya. "Tujuannya untuk mencari tahu apakah saya beragama Hindu atau Muslim," katanya.
Ketika Imran Khan mengatakan namanya, yang umum di antara muslim asia selatan, gerombolan massa itu mulai memukulilnya dengan tongkat dan batang besi.
Imran menceritakan, ia sempat mencoba mengajak mereka bicara. Akan tetapi mereka tidak mau mendengarkan dan mereka malah mengejeknya lalu gerombolan itu merampas barang yang dibawa Imran.
"Sementara beberapa dari mereka memakan buah yang saya bawa pulang untuk anak-anak," katanya.
Imranmengatakan, gerombolan itu memukulinya tanpa ampun. Sehingga membuatnya kehilangan kesadaran. Katanya, ketika dia sadar, dia mendapati dirinya di selokan drainase dengan tali diikat di leher.
"Barangkali mereka mengira saya sudah mati setelah mereka menenggelamkan saya ke saluran pembuangan," katanya.
Saat ini Imrah ditampung di sebuah kamp bantuan kemanusiaan di daerah Mustafabad di Delhi. Saat ditemui wartawan kepala Imran masih dibalut perban dengan 32 jahitan untuk menutupi lukanya.
"Hanya tuhan yang menyelamatkanku."
Pasca bentrokan, kini Imran bergabung di antara ribuan orang tinggal di kamp-kamp bantuan darurat. Kamp ini didirikan untuk mereka yang selamat dari kerusuham sektarian bulan lalu di ibukota India.
Kekerasan ini setidaknya menewaskan 53 orang dan lebih dari 200 orang terluka. Kekerasan yang dialami warga Muslim kamarin itu terjadi pada tanggal 24 Februari setelah malam ada kunjungan presiden Donald Trump ke India, ketika para pendukung undang-undang kewarganegaraan baru yang kontroversial, dilihat banyak kalangan sebagai diskriminasi terhadap populasi Muslim minoritas di negara itu, yang ditentang oleh masyarakat.
Bentrokan terjadi setelah sedikitnya seorang politisi Hindu memperingatkan polisi India dalam pidato publik bahwa jika mereka tidak menghentikan protes terhadap undang-undang yang baru itu, ia dan yang lain-lain akan melakukan kekerasan terhadap Muslim.
Gerombolan orang yang bersenjatakan tongkat besi, tongkat, bom molotov dan senapan buatan sendiri menyerbu beberapa perkampungan, membunuh orang-orang, mendirikan rumah, toko, dan mobil. Dua minggu kemudian, lebih dari 5.000 Muslim menemukan diri mereka tinggal di setidaknya tiga kamp darurat.
Kumpulan tenda tersebut penuh sesak dan kurang fasilitas dasar untuk sanitasi dan kebersihan. Situasi itu sungguh berbahaya di tengan wabah coronavirus global.
Lebih dari 1.500 orang, kebanyakan berasal dari daerah Shiv Vihar di Delhi yang menyaksikan aksi kekerasan terburuk kini tinggal di kamp Mustafabad.