REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seminar Pra Muktamar ke-48 Muhammadiyah ke-48 di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka menjelaskan tiga jenis ekstremisme sosial keagamaan.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqqodas, menyampaikan, ada tiga kategori ekstremisme sosial keagamaan.
Pertama, ada sekelompok kecil masyarakat memiliki pemahaman keagamaan yang sangat fanatik atau ultra fanatik. Mereka tidak mengenal pendekatan ijtihad dan dialog.
"Kelompok ini ada imam besar, imam besar ini mempunyai otoritas tunggal, sampai membaiat, (ada) prinsip ketaatan pada imam (mulai dari) ketaatan doktrin, ketaatan amal, ketaatan mencari suami atau istri," kata Busyro saat pidato sambutan pada pembukaan seminar, Sabtu (14/3).
Di menambahkan, memang ada kelompok kecil pengajian, tapi yang mengisi pengajian selalu si A saja. Doktrin si A kalau jamaahnya masuk kelompok lain menjadi kafir. Doktrin takfiri itu sampai sekarang masih ada. Mengenai dari mana asalnya paham itu yang jelas bukan dari Muhammadiyah.
Kedua, kelompok pertama tadi ditambah ada semacam kekuatan luar yang mengorganisasi. Mereka masuk ke dalam dengan menyebarkan isu-isu tentang pemikiran yang radikal, ekstrem, dan yang menghadapkan umat Islam dengan pemerintah
"Serta menghadapkan Islam dengan Pancasila, itu ada, itu dimulai sejak 1977 sampai sekarang, data kami punya," ujarnya.
Busyro menyampaikan, kelompok ketiga adalah ekstremisme sosial yang disebabkan karena adanya ketidakadilan sosial. Sehingga menimbulkan kesenjangan ekonomi akibat dari proses politik yang melalui proses demokrasi liberal di Indonesia.
Dia menegaskan, demokrasi transaksional ini yang paling membahayakan Pancasila, UUD 1945 dan kesatuan bangsa. Menurutnya, bisa diduga pada pilkada nanti mustahil tidak ada pilkada yang tidak pakai politik uang.
Dia mengingatkan, sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, jika diturunkan dan diisi secara moral akademis intinya adalah agama. "Agama apapun terutama Islam sudah jelas mengatakan bahwa penyuap dan yang disuap hina, mediator suap termasuk di dalamnya," jelasnya.
Busyro menegaskan, ketika suap menghiasi proses pilkada sampai pemilu, maka lahirlah demokrasi pusat dan daerah. Tapi demokrasi ini hasil dari proses demokrasi transaksional, maka terbentuklah birokrasi yang kleptokrasi. Yakni birokrasi yang penuh ketidak jujuran, sehingga catatan tentang korupsi itu luas sekali penyebarannya.