REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alquran adalah kitab suci umat Islam yang diterima Allah SWT melalui malaikat Jibril dan sampai ke umat Islam secara mutawatir (aklamatif). Bahwa yang disebut Alquran adalah isinya, sedang lembar kertasnya disebut mushaf.
Karena mushaf Alquran ada beberapa tahun sesudah Nabi Muhammad (zaman beliau belum ada mushaf), maka keseluruhan pendapat tentang mushaf Alquran bersifat ijtihadi (produk pemikiran Alquran) yang kemudian menjadi kesepakatan umat Islam.
Bagaimana halnya dengan mushaf Alquran yang rusak. Apakah kita harus tetap merawat mushaf yang rusak itu, membakarnya, ataukah memendamnya.
Pada zaman Utsman ra pernah terjadi pembakaran lembaran-lembaran Alquran selain mushaf al-Imam (waktu itu hanya ada enam eksemplar). Begitu juga pada zaman Marwan bin Hakam terjadi pembakaran onggokan Alquran yang dikumpulkan pada zaman Abu Bakar.
Kedua tipe pembakaran tersebut dilatarbelakangi keinginan agar tidak terjadi perbedaan yang tajam antara umat Islam dalam hal penulisan dan pembacaan Alquran. KH. Ahmad Zahro dalam Fiqih Kontemporer mengatakan berangkat dari dua kejadian pembakaran Alquran tersebut, maka jika terdapat lembar-lembar Alquran yang rusak atau sobek, cara terbaik adalah membakarnya sehingga tak berbekas lagi.
Mushaf Alquran rusak bukan dipendam karena kalau hanya dengan memendamnya tulisan Alquran yang ada akan lama hilangnya. Bukan pula menyimpannya di gudang karena terkesan menyia-nyiakan dan lagi tulisannya masih ada tetapi tidak akan dibaca selamanya.
Mushaf Alquran, disamping sebagai kitab suci yang berisi firman Allah SWT, juga merupakan salah satu simbol kehormatan umat Islam. Mushaf Alquran amat dihormati sampai-sampai banyak umat Islam yang menjadikan mushaf Alquran sebagai media angkat sumpah dengan dengan memosisikan nya diatas kepala orang yang sedang disumpah.
Walaupun secara tekstual tidak ada dalil yang dapat dijadikan rujukannya, tetapi kesepakatan umat Islam cukuplah menjadi alasan. Hal ini dapat didasarkan pada kaidah ushul fiqih: al-Adah muhakkamah (kebiasaan baik umat Islam itu dapat menjadi dasar pertimbangan penetapan hukum). Wallahualam