Senin 16 Mar 2020 21:35 WIB

Membaca Kesiapan Pemerintah Hadapi Corona dari Pidato Jokowi

Analisis pidato Presiden Jokowi terungkap pemerintah belum siap hadapi corona.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers terkait COVID-19 di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3/2020).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers terkait COVID-19 di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia dinilai kurang serius dalam merespons wabah Corona yang tengah menghantui masyarakat Indonesia.   

Dosen Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Fariz Alnizar, menilai kurangnya keseriusan itu dapat dilihat dari cara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menyampaikan pidatonya terkait virus corona. 

Baca Juga

"Saya melihat ada masalah mendasar soal bagaimana pemerintah merespons wabah corona. Persoalan itu soal keseriusan. Pemerintah tampak kurang serius. Setidaknya itu bisa kita lihat dari cara presiden membacakan pidatonya soal corona di Istana Bogor kemarin," ujar Fariz dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (16/3). 

Menurut Fariz, isi pidato presiden tersebut masih menyiratkan ada kebimbangan untuk melakukan langkah strategis apa yang harus diambil dalam menghadapi wabah corona. 

Dalam pidatonya, menurut dia, setidaknya Jokowi menyebut dua model respons, lockdown dan tidak perlu lockdown. 

Dia menjelaskan, urutan penyebutan dua model respon tersebut bukanlah sebuah kebetulan dan urusan bahasa bukan perkara teknis menaruh diksi dan pilihan kata semata. 

Namun, menurut dia, lebih dari itu ada politik dan nilai-nilai ideologi yang bersamayam di balik setiap susunan kata dan pilihan diksi. 

"Dari sini kita bisa menangkap bahwa pemerintah masih enggan untuk melalukan pilihan lockdown dalam kasus corona. Argumentasinya simpel saja, bahwa jika ada dua opsi disebutkan, maka umumnya opsi kedua merupakan kisi-kisi keputusan yang akan diambil," katanya.  

Dia pun mengomentari isi pidato presiden Jokowi sebagai berikut: “Kita melihat, beberapa negara yang mengalami penyebaran lebih awal dari kita, ada yang melakukan lockdown dengan segala konsekuensi yang menyertainya. Tetapi ada juga negara yang tidak melakukan lockdown, namun melakukan langkah dan kebijakan yang ketat untuk menghambat penyebaran Covid19." 

Fariz mengatakan, konjungsi yang dipakai dalam kalimat yang dipakai presiden di atas adalah tetapi. Menurut dia, penggunaan “tetapi” dalam pidato presiden itu menyiratkan penyangkalan halus atas opsi sebelumnya atau lock down.  

Selain itu, menurut dia, ada satu kalimat yang juga penting untuk disimak dalam pidato presiden, yaitu:   

"Dengan kondisi ini, saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah. Inilah saatnya bekerja bersama-sama, saling tolong menolong dam bersatu padu, gotong royong, kita ingin ini menjadi sebuah gerakan masyarakat agar masalah covid 19 ini bisa tertangani dengan maksimal." 

Dengan memperhatikan isi pidato presiden tersebut, Fariz menilai bahwa corak kalimat di atas itu juga kurang jelas apakah merupakan imbauan, instruksi atau perintah. 

"Ini dalam hemat saya kalimat yang disampaikan dengan psikis yang kurang percaya diri. Terlihat tak begitu punya power," jelas Fariz.  

"Dari kajian linguistik, saya tidak begitu kaget melihat fakta penanganan pemerintah soal wabah corona. Pidato presiden adalah katalisator wajah pemerintah dan negara dalam menangani corona," imbuhnya. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement