REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB -- Di sebuah kamar apartemen di Provinsi Idlib, Suriah, Yasser Aboud tinggal bersama istri dan tiga anaknya serta puluhan saudaranya. Mereka berbagi ruang dan membuat nyaman satu sama lain. Sementara di luar, jejeran gedung yang porak poranda akibat pertempuran seolah menyergap rasa trauma mereka.
“Tidak ada apa-apa sekarang. Sama sekali tidak ada apa-apa,” kata Aboud sambil memalingkan wajahnya dari beberapa barang milik keluarganya yang tersisa.
Aboud dan keluarganya mulai meninggalkan rumahnya di Saraqeb dua bulan lalu. Dia memutuskan pergi saat pertempuran sengit antara pasukan Pemerintah Suriah dan kelompok oposisi bersenjata masih berlangsung.
Aboud hanya membawa beberapa jeriken minyak zaitun, permadani, bantal, pot, dan wajan. Ia pun tak lupa membawa sepeda motor kesayangannya. Sementara, mesin cuci dan beberapa emas milik istrinya dijual.
Pertempuran yang masih berlangsung di Idlib membuat Aboud serta sebagian besar keluarganya kehilangan pekerjaan. Mereka menganggur dan tak memiliki penghasilan lagi.
Setelah mengemas barang-barang, Aboud serta keluarganya meninggalkan rumah dan mulai mengungsi. Apartemen yang sekarang dihuninya sebenarnya tak begitu jauh dari rumahnya. Jaraknya hanya sekitar 15 kilometer.
Warga Idlib yang mengungsi memang harus bertaruh nyawa. Sebab, selama dua bulan terakhir, pasukan Suriah dan sekutunya Rusia gencar melancarkan serangan ke wilayah tersebut. Idlib adalah satu-satunya daerah yang masih dikuasai kelompok oposisi bersenjata Suriah.
“Saya merasa semuanya telah berakhir dan ini adalah migrasi terakhir, bukan perpindahan. Saya merasa dikecewakan oleh dunia,” ujar Aboud.
Saat ini pertempuran di Idlib sedang dalam masa jeda. Sebab, Turki dan Rusia berhasil menyepakati gencatan senjata. Berdasarkan kesepakatan deeskalasi Idlib 2018, Turki memang diperkenankan mendirikan pos-pos militer di wilayah tersebut. Ankara diketahui turut mendukung beberapa faksi oposisi yang ingin menggulingkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.
Meskipun saat ini gencatan senjata sedang diterapkan, warga Suriah ragu hal itu dapat berlangsung lama. Mereka bahkan menyadari dapat menjadi sasaran atau target serangan berikutnya.
Di tengah kondisi yang cukup mencekam, warga Idlib berupaya bertahan. Di antara reruntuhan bangunan, masih ada beberapa toko yang menjajakan makanan dan kebutuhan lainnya. Yasser Aboud lebih memilih membelanjakan uangnya untuk roti daripada membeli bahan bakar generator.
Saat ini Idlib hanya menikmati listrik selama dua jam per hari. Aboud mengatakan tak mungkin baginya menerima rekonsiliasi. Daripada harus hidup di bawah pemerintahan Assad, dia lebih memilih mengungsi ke Turki.
“Kami akan lari ke Turki, kami akan tidur di bawah tembok (perbatasan). Yang paling penting adalah bahwa kita tidak akan memasuki wilayah yang dipegang pemerintah,” ujarnya.
Pada 2011 lalu, Aboud berpartisipasi dalam demonstrasi anti-pemerintah Suriah. Dia sempat ditangkap dan ditahan. Sementara, dua saudara laki-lakinya dibunuh pasukan pemerintah pada 2012. Ibu mertuanya juga tewas akibat serangan udara di tahun yang sama.
Berbeda dengan Aboud yang tinggal di apartemen, sekitar 90 keluarga di pusat kota Idlib memanfaatkan penjara sebagai tempat bernaung dan berlindung. “Kami tidak mampu membayar sewa. Kami membuka pintu penjara dan kami masuk,” kata Hossam Ajjaj.
Mereka yang tinggal di penjara pun harus berbagi ruang. Mereka mengatur tempat untuk tidur, memasak, dan mandi. Guna memberikan privasi, seprei dan selimut digantung di tempat mandi.
Sama seperti lainnya, warga yang tinggal di penjara selalui dihantui rasa waswas. Mereka mencemaskan serangan terjadi secara tiba-tiba. “Kami tidur dalam ketakutan. Saya tidak membayangkan akan ada masa depan. Saya tidak membayangkan ini akan selesai dengan kita masih hidup,” kata Heba seorang remaja berusia 20 tahun yang ikut bersama keluarganya tinggal di penjara.
Sementara di Rumah Sakit Pusat Idlib, Abdullah AlHassan berbaring tak berdaya di ranjangnya. Pekan lalu, dia kehilangan dua kakinya saat kembali ke desanya, Afes. Dia pulang untuk memeriksa rumah yang telah ditinggalkannya. Namun, saat melangkah masuk, dia menginjak ranjau yang ditanam di rumahnya.
Afes berada di jalan raya strategis yang menjadi target serangan pasukan Suriah. “Tidak ada yang bisa tinggal begitu serangan seperti itu datang. Setiap orang harus pergi. Jika ada yang tinggal, (pasukan pemerintah) tidak akan mengampuni dia,” kata AlHassan.
Bulan lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyuarakan keprihatinan besar atas eskalasi yang terjadi di Idlib. Dia menyerukan para pihak yang berkonfrontasi segara menerapkan gencatan senjata.
Hal itu turut disuarakan Kepala Urusan Kemanusiaan dan Bantuan Darurat PBB Mark Lowcock. Dia mengatakan bencana kemanusiaan sedang berlangsung di Idlib. Ratusan ribu warga di sana melakukan eksodus. Kondisi mereka mencemaskan karena saat ini Idlib tengah dibekap cuaca sangat dingin.
“Banyak yang berjalan kaki atau di belakang truk dalam suhu di bawah titik beku, di tengah hujan, dan salju. Mereka pindah ke daerah yang semakin ramai yang mereka pikir akan lebih aman. Tapi di Idlib, tidak ada tempat yang aman,” ujar Lowcock saat berbicara di Dewan Keamanan PBB pada 19 Maret lalu.
Menurut Lowcock, sejak 1 Desember 2019, hampir 900 ribu warga Idlib mengungsi. Lebih dari 500 ribu di antaranya adalah anak-anak. Sekitar 50 ribu orang tak memiliki tempat bernaung. Mereka berlindung di bawah pohon dan ruang terbuka. “Saya mendapat laporan harian tentang bayi dan anak kecil yang sekarat dalam kedinginan,” ujar Lowcock.
Konflik sipil Suriah telah berlangsung sejak 2011. Peperangan telah menyebabkan ratusan ribu orang tewas dan puluhan juta lainnya mengungsi, termasuk ke Eropa dan Amerika.