REPUBLIKA.CO.ID, Seorang sastrawan terkemuka di masa Dinasti Abbasiyah, al-Ashma'i, pernah bertutur tentang seorang pemuda yang durhaka terhadap ayahnya. Kejadian itu terjadi saat Khalifah Abdul Malik bin Marwan berkuasa. Sang anak yang berjuluk Munazil itu konon adalah sosok yang kerap melawan terhadap orang tua.
Tingkah lakunya pun sering menyakitkan keduanya. Hingga, sang ayah berkisah dalam sebuah puisi, salah satu baitnya berbunyi: “Tali rahim antara aku dan dia ternoda, kala dia mencampakkanku.” Berita tentang kedurhakaan sang anak pun terdengar di telinga pemerintah.
Gubernur setempat memerintahkan agar Munazil ditangkap lalu akhirnya bebas. Tapi, Allah SWT berkehendak lain. Kejadian itu terulang terhadap dirinya saat ia menjadi orang tua. Setelah beberapa tahun dikisahkan, Munazil diperlakukan tak manusiawi oleh anaknya sendiri.
Ia dipaksa membawa ember yang dikalungkan di lehernya. Sementara, di leher itu terikat seutas tali yang digunakan sang anak untuk memukul Munazil. Saat sang anak ditanya perihal perbuatannya itu, ia menjawab: “Biarlah, dia pantas menerima akibat ia durhaka pula pada kakekku,” kataya.
Durhaka kepada kedua orang tua (uquq al-walidain), menurut Syekh Muhammad Ibrahim al-Hamad dalam bukunya yang berjudul Uquq al-Walidain; Asbabuhu, Mazhahiruhu, Subul al-Ilaj, merupakan tindakan tercela. Rasulullah SAW di banyak sabdanya melarang dan mengecam tindakan ini. Durhaka adalah salah satu dosa besar. Oleh karena itu, seperti ditegaskan dalam riwayat Bukhari, hindarilah.
Konsekuensi yang bakal diterima oleh anak durhaka sangat banyak. Anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya terancam tidak akan masuk surga. Ini seperti tertuang di hadis riwayat Umar bin Khatab. Pendurhaka orang tua juga divonis terhalang dari nikmat melihat Allah SWT. Penegasan itu tertuang di riwayat Abdullah bin Umar.
Dalam kasus Munazil di atas, perlakuan serupa bisa berbalik kepadanya kelak lantaran doa kuat seorang tua yang terzalimi oleh anak durhaka. Doa orang tua yang dizalim masuk dalam kategori doa yang mustajab. Kekuatan doa orang tua itu tercatat di hadis riwayat Abu Hurairah.
Ia mengatakan, manivestasi durhaka terhadap orang tua sangat banyak. Ini bisa terwujud, antara lain, dengan membuat sedih mereka akibat tingkah laku anak yang menyimpang, seperti sikap kasar dan berontak. Berkata “uf” saja, sebagaimana ditegaskan surat Al Israa' ayat ke-23 tidak boleh, apalagi melawan keduanya.
Terlebih, membuat air mata keduanya terurai. Tanda-tanda durhaka, antara lain, bersikap masam, menatap keduanya dengan raut wajah marah atau sinar mata yang tajam penuh benci, memerintah keduanya layaknya seorang pembantu, menyepelekan nasihat, atau tidak mengakui hubungan kerahiman dengan keduanya, entah karena malu ataupun gengsi. Termasuk durhaka pula, jika menitipkan mereka ke panti jompo karena sebab yang tak kuat.
Banyak sekali bentuk durhaka yang kerap ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Paling parah, bila sang anak mengharapkan kematian keduanya atau salah satu dari mereka agar segera mewarisi harta warisan atau karena alasan sakit dan kemiskinan yang mengimpit. “Jangan sampai hal itu terjadi,” katanya mewanti-wanti.
Durhaka, ungkapnya, timbul karena beberapa faktor. Di antaranya, paling mendasar adalah ketidaktahuan akan dampak dan dosa yang diakibatkan durhaka. Ini bisa dipicu oleh pola pendidikan yang salah dalam keluarga. Pendikan yang ideal dalam keluarga adalah pengokohan pondasi agama. Sebab, berikutnya ialah hilangnya keteladanan orang tua, pengalaman durhaka oleh orang tua sendiri, dan perceraian.
Inti solusinya, sebut Syekh Muhammad, mengembalikan sendi-sendi keluarga yang telah rapuh. Ciptakan suasana Islami dalam keluarga. Keteladanan yang kuat dari orang tua dan terapkan