Selasa 17 Mar 2020 15:15 WIB

Pahami Halal-Haram, Kenali Etika Pergaulan dengan Penguasa

Konsep halal haram mengajarkan bagaimana etika bergaul dengan penguasa.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Pahami Halal-Haram, Kenali Etika Pergaulan dengan Penguasa. Foto ilustrasi: Imam Al Ghazali(youtube)
Foto: youtube
Pahami Halal-Haram, Kenali Etika Pergaulan dengan Penguasa. Foto ilustrasi: Imam Al Ghazali(youtube)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perlu diketahui bahwa konsep halal dalam Islam tak hanya sebatas pada aspek penyembelihan hewan atau perolehan pangan. Lebih dari itu, konsep halal juga mengajarkan kita bagaimana etika dalam bergaul dengan penguasa.

Perlu diketahui bahwa pergaulan dengan para pemimpin (umara), para pegawainya, dan orang-orang zalim di sekitarnya memiliki tiga keadaan. Dalam buku Rahasia Halal-Haram karya Imam Al-Ghazali dijelaskan mengenai tiga hal tersebut.

Baca Juga

Pertama, keadaan buruk ketika anda menemui mereka. Kedua, keadaan tidak buruk ketika mereka menemui anda. Dan ketiga, keadaan paling selamat ketika anda menjauhi mereka sehingga anda tidak melihat mereka dan mereka tidak melihat anda.

Imam Al-Ghazali menjelaskan, dalam kondisi pertama yakni menemui para pemimpin dan orang-orang zalim di sekitarnya sangat tercela menurut syariat. Tentang hal ini, terdapat ancaman yang berat dalam banyak hadis dan atsar (pendapat sahabat dan para thabiin).

Adapun di antara ancaman dari hadits adalah sabda Rasulullah SAW ketika menyebutkan sifat pada pemimpin yang zalim. Rasulullah SAW bersabda: “barangsiapa mencampakkan mereka, niscaya ia selamat dari dosa. Barangsiapa mengasingkan diri dari mereka, ia akan selamat atau hampir selamat. Dan barangsiapa terperosok bersama mereka dalam keduniaan, ia termasuk bagian dari mereka,”.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dari Ibnu Abbas. Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda: “Sepeninggalku akan ada para pemimpin yang berdusta dan berbuat zalim. Barangsiapa membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezalimannya, ia bukan dari golonganku dan aku pun bukan dari golongannya. Dan ia tidak akan datang ke Al-Haudh (telaga surga),”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i dan Imam At-Tirmidzi.

Sedangkan dalam kondisi kedua, yakni ketika penguasa zalim mengunjungi anda, maka jawablah salamnya sebab itu adalah sebuah kewajiban. Namun demikan, berdiri dan memuliakannya jika dalam kondisi berdua saja antara anda dengan penguasa tersebut tidak diutamakan.

Akan menjadi berbeda apabila anda ditemui oleh seorang penguasa lengkap dengan rombongannya, anda boleh berdiri untuk menghormatinya sebagai bagian dari bentuk penghormatann di depan para rakyatnya.

Ketika kondisi anda didatangi penguasa ini, maka anda wajib memberikan nasihat kepadanya dalam pertemuan tersebut. Apabila pemimpin itu mengerjakan sesuatu karena tidak mengetahui keharamannya, melalui nasihat yang diberi maka diharapkan pemimpin itu mampu meninggalkan keharaman setelah mengetahuinya.

Adapun dalam kondisi ketiga, yakni keadaan paling selamat ketika anda menjauhi pemimpin. Mengasingkan diri dari para pemimpin menurut Imam Al-Ghazali menjadi sebuah nilai yang utama. Sebab dengan cara inilah, manusia (rakyat seperti kita) akan memperoleh keselamatan.

Imam Al-Ghazali mengimbau bahwa setiap dari kita harus yakin bahwa sebagaian orang membenci kezaliman pemimpin tersebut, tidak menyukai kelanggengannya, tidak memujinya, tidak menanyakan kabarnya, tidak mendekati orang-orang yang berhubungan dengannya, hingga tidak sedih terhadap sesuatu yang hilang akibat perpisahan dengannya.

Namun demikian apabila kebaikan para pemimpin menggelayuti hati kita, maka kita diimbau untuk mengingat apa-apa yang diucapkan oleh Hatim Al-Ashamm sebagai berikut: “sesungguhnya antara diriku dengan raja-raja itu adalah sehari saja. Kemarin, mereka tidak memperoleh kelezatannya. Besok, aku dan mereka dalam ketakutan. Sungguh hanya hari ini, dan apa yang diharapkan terjadi padanya,”.

Kita juga diingatkan bahwa Abu Al-Darda pernah berkata: “Orang-orang yang berharta dapat makan, minum, dan berpakaian. Kita pun bisa makan, minum, dan berpakaian. Mereka mempunyai kelebihan harta yang mereka pandangi, dan kita pun memandangi harta itu. Bedanya, mereka menanggung penghisaban atas hartanya, sedangkan kita terlepas dari hisabnya,”.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement