Selasa 17 Mar 2020 15:51 WIB

Dianjurkan untuk Cegah Virus Corona, Ini Sejarah Wudhu

Sejumlah pihak menganjurkan menjaga wudhu untuk mencegah virus corona.

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Muhammad Hafil
Sejumlah pihak menganjurkan menjaga wudhu untuk mencegah corona.. Foto: Wudhu (ilustrasi)(Republika/Yasin Habibi)
Foto: Republika/Yasin Habibi
Sejumlah pihak menganjurkan menjaga wudhu untuk mencegah corona.. Foto: Wudhu (ilustrasi)(Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --Sejumlah pihak seperti dokter, ulama, hingga pejabat menganjurkan umat untuk menjaga wudhunya. Ini ditujukan sebagai salah satu upaya mencegah penularan virus corona.

Hari ini misalnya, Senin (16/3), Wakil Gubernur Jabar, Uu Ruzhanul Ulum menilai, untuk mengantisipasi penyebaran virus Covid-19 atau virus corona, ikhtiar batin perlu dilakukan selain ikhtiar dhohir atau duniawi melalui arahan pemerintah. Uu pun mengajak umat di Jabar senantiasa menjaga kebersihan lewat wudhu. "Kita (Islam) ada daimul wudhu atau selalu dalam keadaan suci. Itu kemuliaannya luar biasa," ujar Uu, Senin (16/3).

Baca Juga

Sebelum Uu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Wakil Wali Kota Depok Pradi, MUI, hingga dokter di RS Islam Banjarmasin, menganjurkan wudhu sebagai salah satu upaya mencegah corona. Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah wudhu itu?

Setiap umat Islam yang sudah baligh (dewasa) tentu sudah mengenal istilah wudhu. Yaitu, suatu cara membersihkan diri dengan tujuan menghilangkan hadas dan najis yang ada di badan. Wudhu adalah suatu ibadah yang disyariatkan dalam Islam.

“Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. Sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, mandilah. Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur.” (QS Al-Ma’idah [5]: 6).

Kapankah waktu diperintahkan wudhu tersebut?

Para ulama berselisih paham mengenai hal ini. Ada yang mengatakan, wudhu diperintahkan bersamaan dengan kewajiban shalat lima waktu dan itu terjadi saat di Makkah.

Yang lain berpendapat, wudhu telah diperintahkan sebelum adanya shalat. Namun, sebagian lagi menyatakan, wudhu baru diwajibkan setelah Nabi Muhamamd SAW hijrah ke Madinah. Alasannya, ayat di atas menunjukkan ciri-ciri ayat Madaniyah. Inilah pendapat Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Asbabun Nuzul.

Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Aisyah kehilangan kalungnya, lalu Rasul SAW turut mencarinya. Namun, karena waktunya malam hari, agak sulit menemukan kalung tersebut hingga akhirnya tiba waktu Subuh.

Saat terbangun, Rasul SAW bergegas untuk mendirikan shalat dan mencari air wudhu. Namun, Rasulullah tidak menemukannya. Maka, turunlah ayat ini yang membolehkan tayamum sebagai pengganti wudhu bila tidak menemukan air.

Berkaitan dengan hilangnya kalung Aisyah ini, ayahnya, yakni Abu Bakar As-Shiddiq, sempat memarahinya dan mengatakan bahwa gara-gara kalung itu hingga akhirnya menimbulkan kesusahan (musibah) karena kaum Muslim tidak mendapatkan air. Namun, saat ayat tersebut diturunkan, Abu Bakar memuji Aisyah dan menganggapnya sebagai pembawa berkah.

Menurut As-Suyuthi, inilah pendapat yang paling kuat. Demikian diriwayatkan Imam Bukhari dari Amr bin al-Harits dari Abdurrahman bin al-Qasim. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dari Ubbad bin Abdillah bin Zubair yang bersumber dari Aisyah.

Wudhu menjadi salah satu syarat utama diterimanya shalat seorang Muslim. Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci.” (HR Muslim 224). Tidak diterima shalat salah seorang dari kalian jika berhadas hingga dia berwudhu.” (HR Bukhari No 135 dan Muslim 225).

Tujuan disyariatkannya wudhu ini adalah untuk membersihkan segala kotoran najis dan hadas. Menurut Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim dalam kitabnya Fiqh at-Thaharah, najis dan hadas itu adalah kotoran manusia (tinja), air kencing, madzi, wadzi, darah haid, kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya, air liur anjing, daging babi, bangkai, sisa air yang diminum binatang buas, dan hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya.

Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Syarh al-Mumti’ ‘ala zadi al-mustaqni’ bab Thaharah (bersuci) menjelaskan, bersuci (thaharah) itu adalah membersihkan atau menghilangkan hadas yang menempel di tubuh, seperti kencing atau kotoran manusia.

Di samping itu, thaharah juga bermakna menghilangkan khabats (najis), seperti terkena suatu benda yang diharamkan karena kondisinya yang kotor atau menjijikkan. Dalam hal ini, kata Syekh Utsaimin, tidak termasuk racun.

Selain bertujuan menghilangkan hadas dan najis, thaharah (wudhu, tayamum, mandi, bersiwak, dan lainnya) bermanfaat untuk kesehatan jasmani dan rohani. Dalam hal berwudhu, berbagai penelitian membuktikan bahwa wudhu mengandung manfaat yang besar bagi kesehatan karena mampu merangsang dan menstimulus energi dalam tubuh serta melancarkan peredaran darah.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement