Selasa 17 Mar 2020 15:53 WIB

Fatwa Corona MUI Dibuat untuk Hilangkan Keraguan Masyarakat

Fatwa corona MUI adalah bentuk kepekaan dalam suasana di masyarakat.

Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi (kanan) bersama Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla (kiri) menyampaikan keterangan pers terkait Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi wabah Corona atau Covid-19 di kantor MUI, Jakarta, Selasa (17/3). Fatwa MUI itu mengatur diantaranya membolehkan masyarakat untuk mengganti Shalat Jumat dengan Shalat Zuhur untuk mencegah penyebaran Corona bagi orang-orang sehat dan melarang sementara pelaksanaan ibadah yang membuat konsentrasi massa bagi umat Islam di wilayah yang kondisi penyebaran virus corona sudah tidak terkendali. Republika/Putra M. Akbar(Republika/Putra M. Akbar)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi (kanan) bersama Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla (kiri) menyampaikan keterangan pers terkait Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi wabah Corona atau Covid-19 di kantor MUI, Jakarta, Selasa (17/3). Fatwa MUI itu mengatur diantaranya membolehkan masyarakat untuk mengganti Shalat Jumat dengan Shalat Zuhur untuk mencegah penyebaran Corona bagi orang-orang sehat dan melarang sementara pelaksanaan ibadah yang membuat konsentrasi massa bagi umat Islam di wilayah yang kondisi penyebaran virus corona sudah tidak terkendali. Republika/Putra M. Akbar(Republika/Putra M. Akbar)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fuji E Permana, Ali Mansur, Antara

Wabah virus corona membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait virus corona jenis baru atau Covid-19. Fatwa MUI nomor 14 tahun 2020 mengatur penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadinya wabah Covid-19.

Baca Juga

Poin utama fatwa yang dibacakan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am di gedung MUI Pusat, kemarin (16/3), adalah mengganti shalat berjamaah di masjid menjadi di rumah. Serta kewajiban bagi orang yang positif corona menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain.

Fatwa MUI menyebut shalat Jumat dapat diganti dengan shalat Zhuhur di tempat kediaman. Alasannya shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.

Bagi orang yang positif corona, haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan. Misalnya, jemaah shalat lima waktu atau rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.  

Ketiga, orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar covid-19, harus memperhatikan dua hal. Pertama, jika dia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantikannya dengan shalat Zhuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.  

Kedua, jika dia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona. Seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan),  membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.

Fatwa keempat, dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali. Umat wajib menggantikannya dengan shalat Zhuhur di tempat masing-masing.

Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jemaah shalat lima waktu atau rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.

Kelima, dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat. Keenam, pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib mentaatinya.

Dewan Masjid Indonesia (DMI) memandang Fatwa MUI terkait corona dibuat untuk mencerahkan umat. Sekretaris Jenderal DMI, Imam Addaruqutni menegaskan bahwa Fatwa MUI ini bukan bermaksud untuk mengikuti kebijakan yang aneh-aneh dan menakuti masyarakat.

photo
Petugas dari Dispangtan Kota Cimahi bersiap untuk menyemprotkan cairan disinfektan di area Masjid Besar Cimahi Utara, Jalan Cihanjuang, Kota Cimahi, Selasa (17/3). - (Abdan Syakura)

 

Imam menjelaskan, Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 dibuat Komisi Fatwa MUI untuk menghilangkan keraguan di kalangan masyarakat. Karena pengetahuan masyarakat Indonesia tentang wabah Covid-19 berbeda-beda.

"Fatwa ini dimaksudkan supaya ketika pemerintah berbicara seperti itu (mengimbau masyarakat untuk tidak berkerumun di mana pun), tidak sampai menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat dan jamaah," kata Imam kepada Republika.co.id, Selasa (17/3).

Ia menerangkan, memang ada sejumlah udzhur syar'i yakni segala halangan sesuai kaidah syariat Islam yang menyebabkan seorang boleh tidak melakukan kewajiban atau boleh mengganti kewajibannya. Bahkan ada udzhur syar'i menyampaikan jika terjadi hujan tidak perlu melaksanakan shalat Jumat.  

Secara kasat mata virus ini memang tidak kelihatan tapi korbannya sudah cukup banyak. Dikeluarkannya Fatwa MUI tentang shalat Jumat dan shalat berjemaah di tengah situasi mewabahnya Covid-19 adalah bentuk kepekaan terhadap sebuah suasana.

"Menurut saya (Fatwa MUI) ini termasuk pencerahan. Kalau wabah ini (parah) kemudian orang shalat berjamaah, biasanya imam mengatakan rapatkan shaf maka bisa sebaliknya imam mengatakan jarangkan shaf atau beri jarak shaf," ujarnya.

Menurutnya, Fatwa MUI ini dikeluarkan untuk mencerahkan masyarakat, jadi bukan berarti MUI mengikuti pendapat yang aneh-aneh. Fatwa MUI juga bukan untuk membuat masyarakat ketakutan untuk datang ke masjid.

"Jauh dari maksud itu, tapi kewaspadaan itu dapat diselenggarakan dengan cara yang bijak," jelasnya.

MMUI namun menyatakan hanya pemerintah yang berwenang melarang kegiatan ibadah berjemaah di masjid atau mushala guna mencegah penyebaran virus corona. Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin Abdul Fattah mengatakan bahwa MUI hanya menyampaikan fatwa berkenaan dengan pelaksanaan ibadah pada masa wabah Covid-19, tapi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengatur pelarangan ibadah berjamaah di daerah tertentu.

"Saya kira fatwa itu harus menjadi pedoman pemerintah di sini, dalam rangka pemerintah mengambil satu tindakan bahkan menetapkan mana-mana daerah atau kawasan yang sudah masa gawat darurat tingkat penyebaran virus corona ini," katanya dalam konferensi pers di Kantor MUI Jakarta, Selasa (17/3).

"Jadi itu pemerintah yang berwenang yang punya kompetensi. Masjid misalnya, daerah masjid di mana, kawasan mana yang tingkat penyebaran virus coronanya sudah sedemikian tidak terkendali," ia menambahkan.

Hasanuddin mengatakan situasi penularan Covid-19 di setiap daerah berbeda dan pemerintah daerah yang lebih tahu kondisi wilayahnya yang bisa menentukan perlunya pelarangan ibadah berjamaah di tempat-tempat ibadah guna menekan risiko penularan penyakit tersebut.

"Ada yang terkendali, ada yang tidak terkendali. Itulah fungsi, peran, kompetensi pemerintah, negara di sini," katanya.

"Jadi ini pihak yang berkompeten yang menetapkan daerah-daerah kawasan mana yang penyebaran virus coronanya sudah sedemikian rupa tidak terkendali," ia menambahkan.

MUI juga sebelumnya sudah mengajak masyarakat bersikap bijak menyikapi wabah corona. Salah satunya terkait memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok atau bahkan masker. MUI memastikan kegiatan tersebut bila dilakukan tanpa memperhatikan kebutuhan orang lain sifatnya haram.

Ketua Komisi Fatwa MUI meminta masyarakat proporsional menyikapi penyebaran dan orang yang terpapar Covid-19 sesuai kaidah kesehatan. Masyarakat diharapkan menerima kembali orang yang dinyatakan negatif dan dinyatakan sembuh.

Di masa seperti ini umat Islam diharap semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, memperbanyak sedekah dan senantiasa berdoa kepada Allah SWT.

Doa, kata dia, dengan meminta agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya. Khususnya dari wabah corona.

Kemudian soal pengurusan jenazah terpapar Covid-19, lanjut dia, terutama dalam memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. "Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19," kata dia.

Hari ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (BNPB) memperpanjang status keadaan tertentu darurat bencana non-alam, virus corona. Dalam  surat keputusan bernomor 13.A Tahun 2020, yang ditandatangani oleh Kepala BNPB Doni Monardo pada 29 Februari 2020, masa darurat hingga tanggal 29 Mei 2020, atau sekitar lima hari pascalebaran Idul Fitri 2020.

Perpanjangan status keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu (menetapkan perpanjangan status keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus Corona di Indonesia) berlaku selama 91 hari, terhitung sejak tanggal 29 Februari 2020 sampai dengan tanggal 29 Mei 2020.

Dalam surat keputusan tersebut, BNPB menyatakan perpanjangan ini dilakukan akibat dari penyebaran virus corona yang semakin meluas dan menyebabkan korban jiwa. Kemudian penyebaran virus Corona juga bisa berimplikasi pada kerugian harta benda, dampak psikologis pada masyarakat, serta mengancam, dan mengganggu kehidupan masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement