REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan, tujuh hal harus dipertimbangkan untuk melakukan kebijakan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar di suatu wilayah. Mulai dari efektivitas, tingkat epidemi, hingga pertimbangan ekonomi, sosial, budaya dan keamanan.
Tito di Balai Kota Jakarta, Selasa (17/3), menegaskan keputusan karantina wilayah terkait pencegahan penularan COVID-19, secara absolut berada di bawah kendali pemerintah pusat, yaitu Presiden RI. "Kita sampaikan ke Pak Gubernur (DKI Jakarta Anies Baswedan) tadi tentang karantina kewilayahan karena menyangkut aspek ekonomi," kata dia.
"Selain UU 6/2018 tentang Kekaratinaan Kesehatan itu, untuk pembatasan wilayah dan pembatasan sosial dalam jumlah besar itu kewenangan pemerintah pusat," kata Tito Karnavian.
Pertimbangan yang disebut Tito itu berdasarkan Pasal 49 Ayat 2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Bab Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Wilayah. Dalam bab tersebut disebutkan, untuk melaksanakan karantina suatu wilayah atau lockdown harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya dan keamanan.
Karantina yang terdiri atas karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit atau pembatasan sosial berskala besar, diberlakukan pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang ditetapkan oleh pejabat karantina kesehatan. "Karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar ditetapkan oleh menteri," tulis aturan tersebut di pasal 49 Ayat 3.