REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menggelar rapat terbatas level menteri untuk membahas harga gas industri yang tak kunjung turun. Rapat yang digelar melalui video conference ini menjadi yang kedua kali pada tahun 2020 ini, setelah pada 6 Januari lalu Presiden Jokowi juga memimpin rapat terbatas dengan topik yang sama.
Jokowi kembali menagih laporan dari masing-masing kementerian terkait tentang target penurunan harga gas industri. Presiden bahkan kembali membacakan tiga opsi yang bisa ditempuh pemerintah demi menurunkan harga gas.
Ketiga opsi itu adalah pengurangan atau penghilangan jatah (penerimaan) pemerintah, pemberlakuan jatah kuota untuk industri domestik (Domestic Market Obligation/DMO), dan kebijakan bebas impor untuk industri.
Harga jual gas industri saat ini masir bertengger di angka 9-11 dolar AS per Million British Thermal Unit (MMBTU). Padahal menurut Perpres nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas, diputuskan bahwa harga jual gas industri tak boleh lebih dari 6 dolar AS per MMBTU untuk industri tertentu.
"Saya minta ratas hari ini saya bisa diberikan hitung-hitungan, kalkukasinya seperti apa," jelas Jokowi, Rabu (18/3).
Presiden pun meminta Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) benar-benar menyeleksi sektor industri yang akan mendapat insentif berupa harga gas yang kompetitif. Jokowi ingin, penurunan harga gas bisa memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Sesuai beleid tentang penetapan harga gas, ada enam industri yang mendapat prioritas penurunan harga gas. Keenamnya adalah industri kimia, industri makanan, industri keramik, industri baja, industri pupuk, dan industri gelas, plus satu lagi ada pembangkit listrik yang mendapat insentif.
"Industri yang diberikan insentif harus mampu meningkatkan kapasitas produksinya, investasi barunya, dan efisiensi proses produksinya sehingga produknya menjadi lebih kompetitif. Industri yang diberi insentif juga harus bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja," jelas Jokowi.
Jokowi juga memberi opsi pencabutan insentif nantinya, terhadap industri yang dianggap tidak bisa menunjukkan performa sesuai target yang dipatok pemerintah. Target yang dimaksud antara lain yang disebut di atas, seperti peningkatan kapasitas produksi dan perluasan serapan tenaga kerja.
"Saya minta evaluasi dan monitoring secara berkala harus dilakukan terhadap industri-industri yang diberikan insentif. Harus ada disinsentif, harus ada punishment, jika industri tidak memiliki performance sesuai yang kita inginkan," jelasnya.