REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Antara
Keharusan berada di rumah membuat anak-anak di sebagian daerah di Indonesia belajar dari rumah. Konsep belajar dari rumah namun belum sepenuhnya mudah dipraktikkan oleh murid atau guru.
Akibatnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan sejumlah orang tua siswa yang mengeluhkan tugas-tugas yang dibagikan guru kepada anak-anak mereka secara daring (online). Anak-anak justru stres karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari gurunya.
"Kemungkinan besar, para guru memahami home learning adalah dengan memberikan tugas-tugas secara online, dan pengumpulannya pun online. Alhasil para siswa dan orang tua mengeluh," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti dalam siaran pers, Rabu (18/3).
Retno menduga guru banyak yang gagal paham dengan maksud dari home learning. Padahal, maksud belajar dari rumah sesungguhnya adalah memberikan aktivitas belajar rutin pada para siswa agar tetap terbiasa belajar dan menjaga keteraturan.
Dengan keteraturan itu, diharapkan anak-anak ketika masuk sekolah kembali semangat belajarnya tidak padam dan materi pembelajaran tidak tertinggal. "Jadi ritmenya bisa diatur bukan malah membuat anak tertekan, perasaan tertekan dan kelelahan justru dapat berdampak pada penurunan imun pada tubuh anak," kata Retno.
Namun fakta yang terjadi kata Retno, berdasarkan laporan, anak-anak mendapatkan banyak tugas yang harus dikerjakan di rumah. Karena semua guru bidang studi memberikan tugas yang butuh dikerjakan lebih dari 1 jam akibatnya, tugas makin menumpuk dan anak-anak jadi kelelahan.
KPAI menyayangkan Kemdikbud dan Dinas-dinas Pendidikan tidak melakukan edukasi terlebih dahulu kepada para guru dan sekolah ketika ada kebijakan belajar di rumah selama 14 hari. Kalau sudah ada persiapan kata Retno, semestinya tidak terjadi penumpukan tugas yang justru memberatkan anak-anak.
"Semestinya ada petunjuk teknis dan juklak petunjuk pelaksaan seperti apa belajar di rumah dengan metode daring," terang Retno.
Misalnya terang Retno, dalam memberikan tugas kepada siswa harus terukur dikerjakan maksimal 30 menit, tidak boleh lebih. Jadi kalau dalam bentuk soal, maka guru dapat mengukur hanya berapa soal yang diberikan.
"Tugas diberikan tidak secara berbarengan. Tetapi rumpun mata pelajaran bersepakatan menentukan hari pemberian tugas agar para siswa tidak kewalahan," ungkapnya.
Para guru juga disarankan memberikan tugas tidak melulu dalam bentuk soal, namun bisa penugasan yang menyenangkan. Misalnya membaca novel tertentu atau buku cerita apa saja selama tiga hari, kemudian menuliskan resumenya.
"Atau penugasan praktik berupa percobaan membuat hand sanitizer dengan guru terlebih dahulu memberikan cara dan bahan-bahan yang dibutuhkan, lalu proses dan hasilnya difoto. Bisa juga anak-anak SD diminta untuk mengurus satu tanaman dan menceritakan nama tanamannya, bentuk dan warna daun, spesiesnya, dan lain-lain," kata Retno.
Model penugasan seperti itu kata Retno, dapat mengasah rasa ingin tahu anak-anak untuk mencari jawabannya. Guru, menurut Retno, harus kreatif dalam memberikan penugasan.
Pengalaman Orang Tua
Bagi salah seorang orang tua murid di salah satu SD di Jember, Jawa Timur, Eka tanggung jawab barunya ini cukup menyulitkan. Sebab, anaknya yang masih kelas 1 SD tidak terbiasa fokus belajar di rumah. Biasanya, rumah hanya dijadikan tempat mengulang pelajaran bukan untuk belajar secara utuh.
Sistem yang diterapkan guru menggunakan tenggat waktu. Eka mengatakan, setiap waktu tertentu orang tua harus mengirimkan tugas yang dikerjakan anaknya kepada guru melalui aplikasi Google Classroom.
"Dilatih bagaimana harus bisa deadline misalnya ini jam 17.00 WIB tugas harus masuk semua. Harus orang tua pegang handphone terus. Jadi tiap ada informasi langsung dikasih guru," kata Eka.
Sebagai seorang ibu rumah tangga, ia tidak terbiasa setiap saat memegang ponsel. Namun, kali ini dia harus selalu memperhatikan tugas-tugas yang dikirim oleh guru melalui aplikasi di telepon genggamnya. Setidaknya, setiap jam kini Eka harus melihat ponsel untuk memeriksa apakah ada tugas dari guru.
Berdasarkan pengamatannya, sang anak cenderung tidak serius mengerjakan tugas. Ia memahami hal itu, karena mungkin anaknya terbiasa belajar di dalam situasi sekolah. Namun, kini akibat pandemi Covid-19 demi keamanan kegiatan belajar harus dilakukan di rumah.
"Menurut saya tidak maksimal, karena yang namanya anak lebih senang ke guru kalau untuk belajar. Kalau di rumah untuk mengulangi saja. Kalau anak saya modelnya di rumah dia tidak mau belajar. Jadi saya yang harus ngoyo," kata dia.
Hal serupa dikisahkan Susi, seorang ibu rumah tangga di Jakarta yang sekaligus memiliki pekerjaan di rumah. Ia mengakui adanya belajar di rumah ini membuatnya kewalahan. Apalagi ia memiliki dua anak yang sudah sekolah. Di satu sisi, ia tetap harus konsentrasi dalam melakukan pekerjaannya.
Anak Susi yang lebih tua saat ini kelas 1 SD, sementara anak keduanya masih TK A. Keduanya diliburkan selama dua pekan dan mendapatkan tugas yang berbeda. Tugas tersebut kemudian menjadi tanggung jawabnya untuk menjadi pengajar di rumah.
"Meskipun kebijakan kantor saya kerja dari rumah, tapi begitu sulit bekerja sambil mengajari kedua anak yang sama-sama butuh perhatian khusus," kata Susi.
Meskipun demikian, ia merasa pengalamannya sangat seru. Ia bisa merasakan betapa sulitnya menjadi guru di sekolah. Sebab, hanya mengajari dua anak saja membuatnya kesulitan, apalagi guru di sekolah yang harus mengasuh anak banyak.
Walaupun Eka dan Susi sama-sama merasa kewalahan dalam menjalankan tugas barunya, namun mereka memahami situasi yang ada. Keduanya juga berpendapat lebih baik anaknya belajar di rumah daripada sekolah namun terancam terpapar virus Covid-19.
"Makanya saya berusaha menjalankannya dengan ikhlas. Lebih baik karantina mandiri daripada anak saya sakit. Kalau anak sakit, satu keluarga kami bisa sakit. Saya tidak bisa bayangkan bila anak masuk ruang isolasi tanpa orang tua di sampingnya," kata Susi.
Guru SMA Negeri 29 Jakarta, Aji Tri Wikongko mengatakan sejak Rabu (18/3) seluruh guru di Jakarta diminta mengajar di rumah. Ia mengapresiasi hal ini karena memang sepatutnya dilakukan untuk menghindari semakin luasnya paparan Covid-19.
Namun, tanggung jawab guru di sekolah tetap berjalan untuk memastikan peserta didik belajar dan mengikuti instruksi dari jarak jauh. "Kita gunakan beberapa media, mulai dari Whatsapp group, Google Classroom, dan Form, Youtube, Schoology, dan lain-lain," kata Aji.
Ia mengakui, awalnya cukup merasa berat dalam melakukan aktivitas belajar di rumah ini. Terutama bagi guru yang kurang akrab dengan teknologi. Namun, para guru saling membantu sehingga aktivitas belajar di rumah bisa diterapkan.
Satu hal yang menurutnya masih perlu diperbaiki adalah masih adanya sekolah yang menerapkan piket. Jumlahnya pun tidak sedikit. Menurut dia, hal ini tetap tidak efektif karena imbauan untuk melakukan pembatasan jarak tidak bisa sepenuhnya diterapkan.
Orang tua murid lainnya, Inung, mengatakan tidak semua orang tua bisa menyediakan fasilitas bagi anaknya belajar di rumah. Alasannya, banyak wali murid yang mengeluhkan belajar di rumah, karena tidak semua anak memiliki gawai.
"Masih mendingan kalau anaknya punya HP sendiri-sendiri. Tadi pagi ngobrol sama ibu-ibu belanja sayuran, katanya anaknya tiga SD semua tidak punya HP. Jadi pakai HP ibunya, langsung hang," kata Inung.
Kendala namun tidak hanya dirasakan orang tua. Anaknya yang duduk di jenjang SMA, lanjut Inung, sepakat menggunakan Google Classroom. Satu kelas sudah sepakat. Namun giliran gurunya yang tidak bisa pakai. Jadi, selain kesiapan orang tua, belajar di rumah itu juga memerlukan kesiapan guru.
Pemerhati pendidikan Indra Charismiadji mengatakan belum semua guru yang siap menerapkan pembelajaran daring. "Belum semua guru siap menjalankan pembelajaran daring. Banyak guru yang kebingungan bagaimana pembelajaran daring tersebut," kata Indra.
Indra mengatakan dengan adanya penerapan daring karena adanya bencana non-alam tersebut, maka akan kelihatan bagaimana kualitas guru sesungguhnya.
"Sekarang kebongkar semua kan, kalau pelatihan guru yang menghabiskan dana Rp 900 miliar pada tahun lalu tidak efektif," ucap Indra.
Pendiri Gerakan Nasional Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, mengatakan, orang tua yang juga bekerja di rumah sebaiknya meluangkan waktu untuk menemani anak berdiskusi dalam belajar. Hal itu dilakukan agar selama kegiatan belajar di rumah, anak tidak merasa menjadi obyek saja. Tetapi juga bisa aktif bersama keluarga di rumah.
Diskusi bersama anak dalam kegiatan belajar di rumah dapat menguatkan ikatan sosial keluarga. Hal ini juga mengajarkan anak menjadi warga negara yang efektif di segala situasi yang berubah dengan cepat di era disrupsi digital.
Selain itu, ia menambahkan, orang tua bisa membuat salah satu sudut rumah menjadi area belajar yang kondusif serta sehat. Suasana belajar yang menyenangkan juga bisa dibangun di dalam sudut rumah tersebut.
"Orang tua juga bisa menemani akses pembelajaran daring gratis yang disediakan oleh institusi atau masyarakat," kata Rizal menambahkan.
Ia menyarankan, situasi darurat Covid-19 ini bisa menjadi kesempatan orang tua untuk membangun tempat belajar yang menyenangkan. Selain itu, ia juga menyarankan agar pembelajaran yang dilakukan berkaitan dengan persoalan nyata yaitu pencegahan virus corona. "Sehingga pengetahuan tidak tercabut dari akar kehidupan nyata," kata dia.
Lihat postingan ini di Instagram
Tip Belajar di Rumah
Upaya untuk memindahkan kegiatan belajar di rumah memang tidak mudah. Dikutip dari CNN, hal pertama yang harus orang tua sadari adalah belajar di rumah tidak sama dengan di sekolah. Maklumi jika anak tidak bisa fokus di rumah seperti di sekolah.
Tapi orang tua bisa melakukan upaya untuk membuat kegiatan belajar bisa diterima oleh anak dengan lebih mudah. Langkah pertama adalah dengan melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan.
Untuk tugas dari sekolah, orang tua memang tidak bisa membantahnya. Anak harus diajak untuk mengerjakan tugas tersebut. Selain itu orang tua bisa bersikap fleksibel.
Anggota dewan Homeschool Association of California, Jamie Heston, mengatakan ajak anak berdiskusi tentang daftar kegiatan yang mereka bisa lakukan serta pelajari. Susun jadwal yang juga sesuai dengan kebutuhan keluarga.
"Ada banyak cara untuk bersenang-senang tapi juga mendidik anak. Cara ini lebih menarik ketimbang hanya duduk di depan meja dengan buku terbuka," katanya.
Kemungkinan pelajaran yang bisa dieksplorasi disebut tak terbatas. Mulai dari matematika, kimia, ilmu botani, hingga belajar tentang luar angkasa lewat aplikasi mobile.
Langkah kedua adalah membuat jadwal dan pasang jadwal tersebut agar diketahui semua anggota keluarga. Banyak anak belajar di ruang kelas. Menciptakan ruang yang mirip dengan kondisi seperti ruang kelas bisa membantu anak fokus.
Orang tua harus memasukkan pula waktu jeda atau waktu yang biasa dialokasikan sekolah untuk jadwal mengudap anak alias snack time. Anak bisa diajak menikmati luar rumah, meski hanya di teras. Atau sekadar bermain sebentar di dalam rumah. Pilihan yang terbaik sebenarnya mengajak anak keluar rumah, namun tidak direkomendasikan saat corona sedang mewabah seperti ini.
Satu lagi yang tak kalah penting, yakni waktu bagi anak untuk mengerjakan tugasnya secara tenang dan independen. Hal ini ditegaskan pakar sekolah di rumah Hannah Gauri Ma tak kalah pentingnya. Anak pasalnya juga butuh waktu untuk melepaskan koneksi sesaat dari orang tua, teknologi, dan dunia luar.
"Anak akan bereaksi secara berbeda kepada orang tua sebagai 'guru', mereka akan agak mundur ke belakang tidak seperti saat mereka di sekolah," katanya. Orang tua harus menyadari momen seperti ini juga bisa menimbulkan ketegangan di anak akibat adanya perubahan rutinitas.