REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana penurunan harga gas industri ke level 6 dolar AS per MMmbtu ternyata berimbas terhadap desain APBN 2020. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pihaknya harus tetap menjaga keberlangsungan APBN secara keseluruhan meski ada penurunan harga gas industri yang bisa mengurangi porsi penerimaan negara.
"Skenario Menteri ESDM hanya bisa jalan bila ada kompensasi terhadap penurunan subsidi di sektor, subsidi di BBM. Untuk listrik berarti juga akan ada pengurangan subsidi di bidang listrik. Ini semua juga akan perlu dilakukan subsequencing yang sangat hati-hati," jelas Sri dalam keterangan pers usai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (18/3).
Sri menyebutkan, Presiden Jokowi meminta agar pengelolaan APBN tidak berat sebelah, mendukung bagian hulu yang tidak efisien bagi keuangan negara tapi membebani sisi hilir yang berpotensi yang menambah risiko defisit negara.
"Ini menyakut keberlangsungan keseluruhan APBN kita yang sekarang ini mengambil semua beban yang tidak efisien dari perekonomian dalam bentuk subsidi. Subsidi kepada industri yang tentu saja harus diperbaiki," kata Sri.
Terkait rencana penurunan harga gas, Sri menyebutkan akan mengikuti keputusan Presiden Jokowi tanpa mengabaikan perhitungan yang rinci dan tanpa menambah beban APBN.
"Artinya memang subsidi diberikan kepada kelompok yang memang mampu untuk menciptakan keadilan bagi perekonomian," jelasnya.
Sebelumnya dalam rapat terbatas, Presiden Jokowi memutuskan untuk memberlakukan penurunan harga gas industri mulai 1 April 2020. Harga gas industri yang dipatok di angka 6 dolar AS per MMbtu berlaku untuk enam sektor industri yang tertuang dalam Perpres nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas, plus satu sektor lagi yakni pembangkit listrik. Keenam industri yang mendapat insentif pengurangan harga gas adalah industri kimia, industri makanan, industri keramik, industri baja, industri pupuk, dan industri gelas.