REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pernikahan tentu adalah perbuatan baik dan kebaikan perlu disegerakan. Namun, penyegeraaan ini tentu saja bukan berarti tanpa perhitungan.
Sebab, jika tanpa perhitungan yang baik, maka bukan tak mungkin bisa terjerumus pada sifat tergesa-gesa atau terburu-buru. Rasulullah SAW pun mengingatkan bahwa tergesa-gesa itu bagian dari sifat setan. Terlepas dari itu, ada kalanya menikah dihukumi makruh yang berarti sebaiknya tidak menikah.
Hanya ada dua mazhab yang berpandangan soal adanya hukum makruh pada pernikahan. Dua mazhab itu adalah Mazhab Syafi'i dan Maliki. Mazhab yang lain tetap memandang bahwa menikah itu diutamakan.
Ahmad Zarkasih, Lc, dalam bukunya berjudul "Nikah: Sebaiknya Kapan?" menjelaskan, dalam Mazhab Syafi'i, menikah hukumnya menjadi makruh jika berada dalam dua keadaan.
Keadaan pertama ketika seseorang tidak butuh melakukan hubungan bersenggama dengan wanita dan tidak punya biaya serta nafkah yang terjamin.
Imam Nawawi dalam kitab Minhaj Al Thalibin mengatakan, "Jika ia termasuk orang yang tidak membutuhkan jima’ (bersenggama), dan ia tidak punya biaya, maka pernikahan tersebut hukumnya makruh.
Keadaan kedua, menikah dianggap makruh dalam Mazhab Syafi'i yaitu ketika seorang laki-laki punya biaya dan cukup mampu menafkahi keluarga, tetapi ia punya penyakit permanen yang membuatnya terhalang untuk melahirkan keturunan.
Imam Nawawi mengatakan, "Kalau ia punya kecukupan, tapi punya penyakit, seperti ketuaan, atau cacat permanen atau juga impoten, maka dimakruhkan menikah."
Sementara dalam Mazhab Maliki, pernikahan mempunyai hukum makrum bila dilakukan orang yang tidak bersyahwat dan dengan menikah orang itu malah terputus melakukan ibadah.
Imam Al Ru’ainiy dalam kitabnya Mawahib Al Jalil, menyampaikan, makruh menikah bagi orang yang tidak punya nafsu syahwat kepada wanita, dan pernikahannya membuatnya tidak beribadah. Tetapi jika pernikahan itu tidak membuatnya berhenti beribadah, maka menikah menjadi sunnah.
Zarkasih menjelaskan, dikatakan makruh yaitu ketika pernikahan itu tidak memberikan tujuan dan tidak bisa beribadah karena sebab pernikahan yang nihil tujuan itu.
Jika dia menikah meski tidak tertunaikan tujuannya yaitu melahirkan keturunan, tetapi dia masih tetap bisa beribadah yang sunnah-sunnah, maka pernikahan tersebut justru menjadi kebaikan tambahan baginya, tidak lagi jadi makruh.