Kamis 19 Mar 2020 10:22 WIB
Corona

Ada Qadariyah Dan Jabariyah dalam Virus Corona

Jabariyah dan Qadariyah Virus Corona

Anggota Tim Emergency Response Palangkaraya (ERP) melakukan penyemprotan cairan disinfektan di tempat wudhu Masjid Darul Qudsi, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (18/3/2020) malam. (ANTARA/Makna Zaezar)
Foto: ANTARA/Makna Zaezar
Anggota Tim Emergency Response Palangkaraya (ERP) melakukan penyemprotan cairan disinfektan di tempat wudhu Masjid Darul Qudsi, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (18/3/2020) malam. (ANTARA/Makna Zaezar)

Oleh: Prof DR Iswandi Syahputra, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Perlahan, perdebatan seputar penanganan penularan virus Corona (Covid-19) memasuki halaman depan rumah keyakinan dan keimanan umat beragama (khususnya Islam). Dalam perspektif ini, setidaknya ada 2 perdebatan yang muncul terkait virus Corona:

Pertama, Takutlah pada Allah SWT jangan takut pada Corona.

 

Pernyataan ini benar tapi cacat logika/nalar. Benar karena sangat jelas takut hanya pada Allah SWT. Salah, karena Allah tidak bisa (tidak boleh) dibandingkan dengan Corona. Logika ini sama dengan ungkapan orang tua pada anaknya, "Sudah besar koq tidak bisa berenang, kalah sama ikan teri".

Tapi logika ini bukan tanpa dasar teologis. Logika bepikir ini masuk pada paham Jabariyah dalam teologi Islam. Intinya, paham ini memiliki keyakinan semua sudah diatur oleh Allah SWT sehingga tidak ada ruang ikhtiar bagi manusia. Manusia hanya menjalani nasib.

Kedua, Virus Corona sangat berbahaya, manusia harus berikhtiar/usaha mencegah penularannya.

Pernyataan ini benar, kemudian banyak yang berikhtiar gunakan masker (walau tidak sakit), pakai hand sanitizer, salam siku, dll.

Ikhtiar ini juga sebenarnya bersandar pada paham teologi Qadariyah. Paham ini pada prinsipnya berkeyakinan bahwa manusia memiliki kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri. 

Tapi saat paham ini dipraktikkan dalam ibadah keagamaan, misalnya menghentikan sholat Jum'at atau sholat jama'ah dengan jarak aman 2 meter setiap jamaah, mulai muncul perdebatan. Yang kadang, (maaf) tidak berguna bagi pencegahan penularan virus Corona.

Agar perdebatan ini tidak berlarut dan kita kembali fokus pada penangkalan penyebaran virus Corona, saya ingin menyampaikan pemikiran jalan tengah. Pemikiran ini berawal dari pertanyaan, Bagaimana sikap seorang muslim sebagai umat beriman terhadap penyebaran virus Corona?

Ada 3 konsep penting dalam keyakinan Islam yang saling berelasi dan dapat digunakan secara simultan (bersamaan) bukan parsial (terpisah, dikotomi) saat umat beriman khususnya muslim dalam mengahadapi penyebaran virus Corona, yaitu:

Ikhtiar, Sabar dan Tawakkal

Ketiganya seperti tiga orang sahabat karib dalam setiap perjalanan kehidupan. Tidak boleh dipisahkan saat kita menghadapi penyebaran virus Corana. Relasi tiga konsep tersebut dapat dijelaskan sbb:

1. Sabar dan tawakkal itu ada dalam ikhtiar, bukan di luar ikhtiar. Sabar dan tawakkal tanpa ikhtiar akan menghilangkan fungsi manusia sebagai khalifah kehidupan.

2. Tawakkal dan ikhtiar itu harus dengan kesabaran, bukan di luar kesabaran. Tawakkal dan ikhtiar tanpa sabar, menjadikan kita manusia tidak lulus ujian.

3. Ikhtiar dan sabar itu harus dibalut tawakkal, bukan di luar tawakkal. Ikhtiar dan sabar tanpa tawakkal akan membuat kita manusia menjadi sombong.

Beberapa firman Allah SWT dalam Al-Qur'an ini dapat diacu untuk menjelaskan tiga relasi tersebut:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”(QS ar-Ra’d [13]: 11)

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.” (QS al-Baqarah [2]: 45).

“Dan betapa banyak Nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS Ali ‘Imran [3]: 146).

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah”.

(QS Ali Imran [3]: 159)

Sebagai penutup, untuk menggambarkan hal tersebut saya kirim kisah dari seorang teman sebagai berikut:

                        *****

Suatu hari banjir besar melanda sebuah daerah. Air naik makin tinggi hingga hampir menenggelamkan rumah.

Orang-orang pergi mengungsi. Seorang pemuka agama memilih bertahan di atas genteng rumah ibadah.

Dia amat percaya bahwa Tuhanlah yang mendatangkan banjir dan Tuhan juga yang akan menolongnya. Tidak ada yang perlu ditakuti kecuali Tuhan.

Sebuah perahu regu penolong datang menghampiri pemuka agama itu. "Bapak, ikutlah naik perahu ke tempat aman," seru regu penolong.

“Jangan pikirkan aku. Tuhan sendiri yang akan menolongku," kata pemuka agama itu.

Air terus naik. Pemuka agama itu pun naik lagi lebih tinggi ke menara rumah ibadah.

Regu penolong kembali datang sampai dua kali untuk membujuk pemuka agama itu naik ke perahu.

Namun selalu ditolak. "Tuhan sendiri yang akan menolongku," begitu selalu jawab pemuka agama itu.

Banjir makin besar dan menenggelamkan rumah ibadah.

Pemuka agama yang nangkring di atas menara pun menemui ajalnya.

Di akhirat ia bergegas mencari Tuhan dan protes.

"Tuhan, aku ini kurang setia apa pada-Mu. Hidupku kudedikasikan pada-Mu. Tapi kok di saat banjir besar Kamu tak datang menolongku," kata dia dengan sangat emosi kepada Tuhan.

"Aku sudah mengirim tiga perahu dan kau menolak untuk mengungsi," jawab Tuhan.

                  ******

Itu sebabnya (sepertinya), dalam Al-Qur'an ayat berpikir lebih banyak dari ayat tawakkal dan ayat sabar.

Artinya, ikhtiar, sabar dan tawakkal selain masuk wilayah keimanan juga harus pakai pikiran. Maka, saat kita berikhtiar, bersabar dan bertawakkal sebaiknya menggunakan pikiran.

Semoga manfaat. Jika salah saya minta ampun pada Allah SWT. Jika khilaf saya mohon maaf.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement