REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Imam Masjid New York, Amerika Serikat, yang juga Direktur Jamaica Muslim Center, Imam Shamsi Ali, mengatakan, ijtima Jamaah Tablig di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tidak sejalan dengan kaidah dasar hukum Islam. Sebab, jelas mudarat seolah sengaja dibukakan pintunya.
Secara pribadi, Shamsi Ali mengatakan, dari segi agama, memaksakan ijtima atau perkumpulan jelas bertentangan dengan ajaran agama. Islam selalu mendahulukan keselamatan manusia. "Manusia dan keselamatannya menjadi perhatian utama Islam dalam ajarannya.” ungkap Shamsi dalam keterangan persnya, Kamis (19/3).
Jika nyawa manusia terancam dalam menjalankan agama dan hidupnya terancam, kata Shamsi, amalan agama tersebut harus atau wajib dibatalkan. Berpuasa Ramadan itu wajib. Namun, jika dalam menjalankannya nyawa pelakunya terancam, puasa tersebut wajib dibatalkan.
Menurut Shamsi Ali, penyebaran wabah corona terutama disebabkan oleh interaksi manusia. Maka, jelas ijtima ini bisa dikategorikan membahayakan hidup manusia. Tentunya yang ashkar (paling benar) adalah meninggalkannya. "Apalagi, pertemuan itu hanya sebuah rencana kelompok umat yang insya Allah baik, tapi tidak secara langsung diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya,” ungkap Shamsi Ali yang juga pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani di Amerika Serikat ini.
Kedua, Shamsi melanjutkan, dasar penetapan sebuah hukum agama itu jelas dasarnya. Salah satu yang terpenting adalah sebuah ketetapan hukum tidak menimbulkan kemudaratan (bahaya) kepada manusia, apalagi yang sifatnya umum.
"Dalam sebuah kaidah disebutkan 'laa dhorar wa laa dhiraar' (tidak berbahaya dan tidak membahayakan),” kata Shamsi.
Dalam kasus corona, kata Shamsi, berkumpulnya banyak orang termasuk kategori berbahaya dan membahayakan, berbahaya bagi yang hadir di tempat tersebut erta membahayakan bagi masyarakat umum yang tidak hadir. Pasalnya, mereka yang hadir akan kembali ke masyarakatnya.
Ketiga, kata Shamsi, pertimbangan Islam dalam memutuskan sesuatu selalu berdasar kepada asas manfaat, atau sebaliknya didasarkan kepada asas menolak mudarat atau bahaya.
Selain itu, dalam sebuah kaidah agama disebutkan, "Dhor'ul mafaasid muqoddam alaa jalbil manaafi." Artinya, menolak atau menghalangi kemungkinan terjadinya kerusakan/bahaya itu harus diutamakan daripada sekedar pertimbangan mendapatkan kemanfaatan.
"Ini yang menjadi salah satu pertimbangan kami di Amerika kenapa untuk sementara masjid-masjid kami tutup dari shalat-shalat jamaah, bahkan jumatan,” katanya.
"Berjamaah itu manfaatnya besar, tapi menjaga terjadinya bahaya penularan wabah lebih kami kedepankan ketimbang pahala besar itu. Kami yakin melakukan ini juga merupakan pintu pahala dari Allah SWT."
"Karenanya, ijtima Jamaah Tablig di tengah merebaknya wabah corona ini tidak sejalan dengan kaidah dasar hukum Islam. Sebab, jelas mudarat seolah sengaja dibukakan pintunya,” ungkap Shamsi.
Keempat, Shamsi melanjutkan, agama Allah ini memilki karakteristik-karakterisik yang luar biasa; sempurna, imbang, saling terkait dan terikat, serta selalu mengedepankan pertimbangan keilmuan dan rasionalitas.
"Jangan atas nama iman dan tawakal, lalu dengan enteng meniadakan pertimbangan-pertimbangan realitas yang ada. Iman dan tawakal itu bukan buta, tapi juga berdasarkan keilmuan dan kita rasionalitas,” kata Shamsi Ali.
Ketika Umar membatalkan keberangkatannya ke tanah Syam karena adanya wabah, bukan berarti beliau tidak beriman dengan qadar Allah. Justru Umar mengetahui bahwa qadar Allah itu hanya diketahui ketika sudah menjadi realita di hadapan mata manusia. Sebelum menjadi realita qadar Allah yang lain mengatakan, lakukan ikhtiar untuk menghindari keburukan dan bahaya itu.
"Karenanya, Umar mengatakan, 'Saya melarikan diri dari qadar Allah ke qadar Allah yang lain,'" kata Shamsi.
Seorang sahabat merasa tawakalnya besar kepada Allah dengan meninggalkan untanya tanpa diikat. Rasulullah SAW berkata, "Ikat untamu dahulu, baru tawakal."
Karena itu, ijtima Jamaah Tablig di Gowa atas nama iman dan tawakal tanpa menghiraukan imbauan para ahli dan pemerintah bisa saja justru melanggar makna iman dan tawakal yang sesungguhnya.
Kelima, agama Islam mengedepankan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada sesama dan lingkungan. Rasulullah menyampaikan bahwa orang yang terbaik adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada manusia lainnya. Sebaliknya, bani Israil dikecam dalam Alquran karena kenderungan mereka untuk melakukan kerusakan di atas bumi ini.
Jika telah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu cara penularan wabah ini adalah berkumpulnya banyak orang, perkumpulan itu yang tetap dilaksanakan jelas melanggar asas etika kemanfaatan. Bahkan, bisa jadi hal itu lebih bahaya karena dianggap sengaja menyebarkan kerusakan ataupun bahaya kepada manusia lainnya.
Keenam, Islam mengajarkan bahwa sesama Muslim itu adalah bersaudara, karena itu jangan saling menyakiti dan menzalimi. "Ketika kita sudah tahu dari informasi yang berdasarkan keilmuan, bahkan telah menjadi kesepakatan umum, bahwa berkumpul lalu menyebar berarti kemungkinan ikut menyebarkan wabah tersebut maka kita telah menzalimi manusia di sekitar kita,” kata Shamsi Ali.