Kamis 19 Mar 2020 11:39 WIB

Belajar dari Korsel dan AS Lawan Virus Corona

Korsel sempat jadi berita utama di seluruh dunia karena uji corona ala drive thru

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Korsel sempat jadi berita utama di seluruh dunia karena uji corona ala drive thru. Ilustrasi.
Foto: EPA
Korsel sempat jadi berita utama di seluruh dunia karena uji corona ala drive thru. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan (Korsel) telah melewati masa kritis dari penambahan jumlah infeksi virus corona dalam beberapa hari ini. Langkah tersebut didukung dengan keputusan pemerintah yang melakukan tes secara cepat dan meluas.

Pada akhir Januari, pejabat kesehatan Korea Selatan memanggil perwakilan lebih dari 20 perusahaan medis. Mereka dipanggil ke ruang konferensi yang terletak di dalam stasiun kereta api Seoul yang sibuk. Salah satu pejabat penyakit menular menyampaikan pesan penting. Negara itu perlu tes efektif segera untuk mendeteksi virus corona dan dia berjanji perusahaan akan segera menyetujui peraturan.

Baca Juga

Meskipun hanya ada empat kasus yang diketahui di Korea Selatan pada saat itu, nyatanya peserta rapat mengaku cukup ketakutan. "Kami sangat gugup. Kami percaya bahwa itu bisa berkembang menjadi pandemi," kata peserta pertemuan dan seorang ahli penyakit menular di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KCDC), Lee Sang-won.

Sepekan setelah pertemuan 27 Januari, KCDC menyetujui uji diagnostik satu perusahaan dengan perusahaan lain segera menyusul. Pada akhir Februari, Korea Selatan menjadi berita utama di seluruh dunia karena pusat skrining ala drive thru dan kemampuannya untuk menguji ribuan orang setiap hari.

Korsel tidak melakukan penutupan wilayah tetapi mendorong melakukan tes secara cepat dengan 290 ribu orang melakukan tes. Dalam 24 jam, Korea Selatan melaporkan 93 kasus baru dengan tiga orang meninggal dunia. Angka ini menurun dari dua pekan sebelumnya yang menemukan hingga 909 kasus dalam 24 jam.

Respons cepat Korea Selatan terhadap virus corona pun merupakan hasil belajar dari bekas luka di masa lalu. Setelah pecahnya Middle East Respiratory Syndrome (MERS) pada 2015, para kritikus mengecam Presiden Park Geun-hye dan pemerintahannya saat itu.

Mereka dinilai merespons dengan lambat dan kurangnya transparansi atas penyebaran MERS. Kepercayaan publik berkurang di Park, yang dimakzulkan pada tahun 2017 setelah skandal korupsi yang tidak terkait.

Negara ini memiliki 186 kasus MERS, termasuk 38 kematian. Jumlah itu menjadi angka terbesar di luar negara Timur Tengah lainnya. "Kami tidak akan pernah bisa melupakan kejadian itu. Itu terukir dalam pikiran kita. Kami sangat terluka, dan kami merasa sangat menyesal," ujar KCDC Lee Sang-won.

Keberhasilan Korea Selatan ini menjadi kritik pedas bagi Amerika Serikat (AS). Negara itu mendeteksi kasus pertamanya pada hari yang sama dengan Korea Selatan. Namun, baru sekitar 60 ribu tes telah dijalankan oleh laboratorium publik dan swasta di negara berpenduduk 330 juta jiwa itu.

Akibat dari keterlambatan itu, para pejabat AS tidak memiliki data akurat berapa banyak warganya yang telah terinfeksi dan di mana mereka terkonsentrasi. Padahal, lebih dari 7.000 kasus telah diidentifikasi pada Rabu. Sebanyak 96 juta orang diproyeksikan dapat terinfeksi dalam beberapa bulan mendatang.

Menurut para pakar penyakit menular, dokter, dan pejabat negara bagian serta lokal, banyak perbedaan dalam sistem kesehatan publik kedua negara. Birokrasi yang ramping versus yang macet, kepemimpinan yang berani versus hati-hati, serta urgensi versus ketergantungan pada protokol.

Administrasi Presiden AS Donald Trump tersandung oleh peraturan dan konvensi pemerintah. Demikian kata mantan pejabat dan pakar kesehatan masyarakat. Alih-alih menyusun sektor swasta sejak dini untuk mengembangkan tes, pejabat kesehatan AS mengandalkan pada kit uji yang disiapkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC).

Sedangkan Korea Selatan mengambil risiko, melepaskan tes yang diperiksa dengan cepat, kemudian kembali untuk memeriksa efektivitasnya. Sebaliknya, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS mengatakan ingin memastikan bahwa tes itu akurat sebelum melakukan tes ke jutaan orang AS.

"Tapi satu hal yang akan saya tegaskan: Kami tidak bisa berkompromi pada kualitas tes karena apa yang lebih buruk daripada tidak ada tes sama sekali adalah hasil tes yang sangat tidak akurat," ujar Komisaris FDA Stephen Hahn.

Dibombardir oleh kritik, Trump berjanji untuk meningkatkan produksi test kit dengan kemitraan perusahaan swasta. Langkah ini untuk membuat tes diagnostik lebih banyak tersedia di rumah sakit dan tempat parkir di swalayan. FDA pun menyatakan lebih dari 35 universitas, rumah sakit, dan perusahaan laboratorium mulai menjalankan tes mereka sendiri di bawah kebijakan revisi badan tersebut.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement