REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelemahan rupiah terjadi secara drastis menjadi Rp 15.712 per dolar AS pada Kamis (19/3) dari Rp 15.223 pada hari sebelumnya, menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR. Economist Bank Danamon, Wisnu Wardana menilai kondisi ini terjadi di pasar keuangan global secara bersamaan, serta terhadap seluruh kelas aset.
"Volatilitas yang terjadi juga dihadapi oleh mayoritas negara, bukan terisolasi ke negara tertentu, wilayah tertentu, ataupun jenis aset tertentu," katanya pada Republika.co.id.
Dalam kondisi demikian, Wisnu menilai sangat penting untuk melakulan pengelolaan secara fleksibel dan menjaga likuiditas valas. Hal itu bertujuan agar harga aset sesuai dengan nilai fundamentalnya.
Untuk menjaga kestabilan, BI bisa menetapkan penutupan perdagangan sementara. Namun, kalau pun diterapkan, Wisnu menyarankan agar trading halt dalam proporsi yang seimbang.
Kepanikan global mendorong pelaku pasar lebih memilih untuk menempatkan dananya pada mata uang negara-negara yang lebih kuat. Data Domestic Non Delivery Forward (DNDF) yang disampaikan oleh BI menunjukkan bahwa per 18 Maret 2020, tenor satu bulan nilai tukar per dolar AS adalah Rp 15.386 dan untuk tenor tiga bulan mencapai Rp 15.580.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menyarankan agar BI segera melakukan trading halt selama satu pekan. Idealnya, kata dia, sampai masa darurat corona selesai pada 29 Mei, tapi jangka waktu tersebut terlalu lama.
Pelemahan rupiah terus menerus akan berpengaruh terhadap cadangan devisa. Amunisi untuk menahan pelemahan kurs terhadap dolar AS salah satunya melalui cadangan devisa.
Perbandingan cadangan devisa terhadap PDB Indonesia menurut data CEIC per 2019 adalah 10,9 persen dan trennya terus alami penurunan. Sementara Rasio cadev terhadap PDB Malaysia 27,2 persen, Thailand 39,4 persen, dan Filipina 21,7 persen.
"Artinya dibandingkan negara lain di ASEAN, Indonesia paling kecil amunisi Bank sentral untuk menjaga stabilitas kurs rupiah," katanya.
Rupiah menjadi titik krusial saat ini. Ekonom Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty membuka opsi saran untuk BI menaikkan suku bunga acuan. Melihat nilai tukar yang mencapai Rp 16 ribu per dolar AS, ini bisa dilakukan untuk menyelamatkan rupiah.
Telisa mengatakan, BI memang punya ruang untuk menurunkan suku bunga karena The Fed juga pangkas lagi suku bunga acuannya. Namun dengan kondisi seperti, Indonesia perlu menarik kembali outflow yang sempat terjadi.
"Untuk menarik kembali uang-uang itu, ya bisa jadi BI-rate dinaikkan, secara temporary," katanya.
Menurutnya, ruang untuk turunkan suku bunga BI terbatasi oleh kemampuan sektor kesehatan Indonesia. Ketika tidak bisa mengatasi masalah di sektor kesehatan, maka akan sangat pengaruh pada ekonomi.