Kamis 19 Mar 2020 13:19 WIB

Fatwa Dinilai Jauhkan Umat dari Masjid, Ini Penjelasan MUI

Pandangan menjauhkan umat dari masjid lebih banyak dipicu kesalahpahaman.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
Fatwa Dinilai Jauhkan Umat dari Masjid, Ini Penjelasan MUI. Tulisan berisi maklumat DKM Masjid Raya Bandung dipasang di halaman Masjid Raya Bandung, kawasan Alun-alun Kota Bandung, Kamis (19/3). Maklumat tersebut salah satunya menyampaikan untuk sementara waktu tidak menyelenggarakan shalat Jumat dan shalat wajib berjamaah hingga aman Covid-19.(Edi Yusuf/Republika)
Foto: Edi Yusuf/Republika
Fatwa Dinilai Jauhkan Umat dari Masjid, Ini Penjelasan MUI. Tulisan berisi maklumat DKM Masjid Raya Bandung dipasang di halaman Masjid Raya Bandung, kawasan Alun-alun Kota Bandung, Kamis (19/3). Maklumat tersebut salah satunya menyampaikan untuk sementara waktu tidak menyelenggarakan shalat Jumat dan shalat wajib berjamaah hingga aman Covid-19.(Edi Yusuf/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fatwa yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 16 Maret lalu tentang penyelenggaraan ibadah di tengah situasi wabah virus corona (Covid-19) menuai pro dan kontra. Sebagian masyarakat berpandangan ada upaya menjauhkan umat dari masjid.

Sekrataris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan pro dan kontra di sebagian masyarakat ini lebih banyak dipicu kesalahpahaman dan parsialitas dalam pemahaman fatwa. Ia menjelaskan, ada sembilan diktum yang merupakan satu kesatuan dalam fatwa tersebut.

Baca Juga

Setelah diterbitkan pada Senin lalu, menurutnya, Komisi Fatwa MUI kemudian melakukan evaluasi dan rapat secara daring yang dihadiri 37 peserta pimpinan dan anggota Komisi Fatwa pada Selasa (17/3). Dalam rapat tersebut disimpulkan, bahwa ada kesalahpahaman terkait fatwa itu di tengah masyarakat.

"Yang harus dipahami ada kondisionalitas terkait pribadi dan kawasan dalam fatwa itu," kata Asrorun, dalam konferensi pers secara daring di Graha BNPB, Kamis (19/3).

Deputi Pengembangan Pemuda di Kemenpora ini menuturkan, seseorang yang sudah dinyatakan positif terkena Covid-19 tidak boleh berada di komunitas publik, termasuk untuk kepentingan ibadah yang bersifat publik. Hal itu menurutnya bukan berarti meniadakan ibadah, tetapi semata untuk kepentingan himayah (perlindungan) agar tidak menularkan virus tersebut pada yang lainnya.

Sementara dalam kondisi sehat dan dalam kawasan yang tingkat potensi penularannya rendah, maka kewajiban ibadah seperti shalat Jumat tetap dilaksanakan. Namun demikian, ia mengingatkan pelaksanaan shalat Jumat di masjid itu harus memperhatikan protokol-protokol kesahatan, sosial, dan kehidupan bermasyarakat. Hal itu dilakukan dengan memperhatikan aspek kesehatan, menjaga diri dan lingkungannya agar potensi penularan tidak tinggi.

Asrorun menambahkan, Allah menciptakan segala sesuatu untuk kemaslahan manusia. Namun, pada saat yang sama, manusia diberi akal untuk memilih antara hidup dan mati, antara sehat dan sakit. Ketika diberi sakit, maka manusia dianjurkan untuk berubah dalam arti berupaya untuk sembuh dan sehat kembali.

"Meskipun sakit adalah ciptaan Allah, akan tetapi dengan akal budi yang diciptakan Allah, kita diwajibkan ikhtiar untuk melaksanakan aktivitas yang membuat sehat. Jika sakit berikhtiar untuk sehat. Jika sehat, diwajibkan menjaga kesehatan agar jangan sampai menjerumuskan diri pada hal yang menyebabkan kebinasaan," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement