REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dai Ambassador Dompet Dhuafa, Ustaz Alnof Dinar, mengatakan bahwa fatwa muncul karena kebutuhan masyarakat terhadap penjelasan ulama terkait hukum dalam agama. Dengan demikian, fatwa merupakan jalan keluar dari kerumitan yang masyarakat hadapi.
Dalam kondisi mewabahnya virus corona ini, fatwa ulama diperlukan untuk menjawab kebingungan umat. Misalnya, dalam kondisi lockdown atau dihentikannya dahulu kegiatan shalat berjamaah di masjid, umat menjadi bertanya soal amaliyah umat yang disyariatkan berjamaah itu harus bagaimana.
"Kalau tidak dijelaskan, umat takut dianggap melanggar syariat. Mereka tidak mau berdosa. Maka Penjelasan mufti (ulama yang berfatwa) menjadi jalan keluar dari keresahan mereka," kata Ustaz Alnof, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Kamis (19/3).
Dai Cordofa Korea Selatan ini menjelaskan, bahwa penjelasan hukum Allah terkait satu problematikan tanpa ada kelaziman, di situlah diperlukan mufti. Mufti tersebut yang menjelaskan hukum Allah terkait problematikan yang terjadi, dan penjelasannya tidak bersifat mengikat seperti seorang qadhi/hakim. Agar umat tidak melakukan kesalahan, ia mengatakan bahwa mufti kemudian memberikan penjelasan sesuai masalah yang dihadapi menurut hukum Allah berdasarkan ijtihad mereka.
Sebab, di dalam Alquran, Allah juga memerintahkan umat untuk bertanya dalam urusan agama atas sesuatu yang mereka tidak ketahui. "Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." (QS. Al-Anbiya':7).
Lebih lanjut, Ustaz Alnof mengatakan bahwa fatwa terkait ibadah di saat wabah virus corona saat ini muncul dari personal dan lembaga yang sangat kapabel untuk berfatwa. Al Azhar, misalnya, mengeluarkan penjelasan melalui Komite Ulama Senior yang beranggotakan 40 ulama pakar dalam berbagai disiplin keilmuan Islam dan dipimpin oleh Grand Syaikh al Azhar.
Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang hafal Alquran dan ilmu tafsirnya, serta menguasai hadits dan kitab-kitab induk otoritatif. Sementara di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa terkait penyelenggaraan ibadah di tengah terjadinya wabah Covid-19.
"Umat tinggal ikuti. Para ahli ketika berfatwa, jika benar mereka dapat pahala 2 dan jika salah mereka dapat pahala 1. Tidak ada dosa. Orang awam kalau beramal tanpa ilmu, amalnya tertolak, tidak diterima," ujarnya.
Sementara itu, ia menuturkan bahwa orang-orang yang tidak ahli fatwa, tetapi memaksakan diri berfatwa, maka ia bisa berdosa bahkan diancam dengan neraka. Sebagaimana Imam Darimi meriwayatkan, "Orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka".
Karena itu, menurut Ustaz Alnof, mereka yang berfatwa adalah orang-orang yang tidak perlu diajarkan dengan keyakinan terhadap taqdir Allah, takut kepada Allah, dan memahami fadhilah shalat berjamaah. Dengan demikian, mereka menjadi tempat bertanya umat jika tidak ingin salah apalagi celaka dalam urusan agama.
Seperti dikisahkan dari Sahabat Jabir berkata, "Kami pernah bepergian, kemudian salah seorang dari kami terkena batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian ia bermimpi basah dan bertanya kepada sahabatnya, "Apakah padaku ada keringanan untuk bertayamum?". Maka sahabatnya mengatakan, "Kami tidak menemukan keringanan untukmu sedang kamu mampu menggunakan air," sehingga ia pun mandi, kemudian mati. Maka ketika kembali dan menemui Rasullah kami pun menceritakan hal tersebut, dan beliau bersabda, "Mereka telah membunuhnya dan semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat tadi tidak tahu adalah bertanya. Padahal cukup baginya hanya dengan bertayamum dan menutup lukanya dengan kain kemudian mengusapnya." (HR. Abu Daud).
Dari hadits tersebut bisa diambil pelajaran, bahwa Rasulullah SAW marah ketika sahabatnya itu wafat. Sehingga, ia mengatakan bahwa obat dari ketidaktahuan adalah bertanya.
"Jangan asal-asalan. Jangan hanya ikut perasaan. Tidak boleh sekedar emosional dan mengedepankan semangat,"kata Ustaz Alnof.
Ia menuturkan, cerita dalam hadis Nabi tersebut mengajarkan bahwa dalam kondisi luar biasa dibutuhkan ilmu yang mendalam dan pengkajian panjang yang dilakukan mereka yang berkompeten dengan disiplin ilmu yang lama mereka geluti. Tidak sekedar itu, katanya, dibutuhkan ketaqwaan dan keikhlasan yang super dalam merumuskan sebuah fatwa.
Karena itulah, ia mengatakan bahwa fatwa ulama keluar setelah melakukan kajian komprehensif terhadap problematika yang muncul di tengah masyarakat. Mereka mengumpulkan semua informasi, data, dan melakukan riset. Selanjutnya, mereka menyesuaikan problematika yang dikaji dengan nash dengan mengkaji dalil semaksimal yang mereka bisa dengan kedalaman dan keluasan ilmu. Menurut Ustaz Alnof, ada kerumitan memahami dalil yang begitu banyak disertai kemampuan mumpuni untuk mengkaitkan dengan realita, dan para ulama itu mampu menyelesaikannya.
"Maka ketika dokter bicara medis, selain dokter lebih baik diam. Ketika ahli farmasi bicara, selain apoteker sebaiknya diam. Begitu juga ketika para ulama memberikan arahan maka yang bukan ulama pun lebih baik mendengarkan. Jika tidak ingin celaka," tegasnya.