Jumat 20 Mar 2020 07:08 WIB

Evi: Sanksi DKPP Jadi Ancaman bagi KPU

Sanksi DKPP jadi bancaman bagi KPU dalam menjalankan tugas-tugasnya

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik
Foto: Antara/Reno Esnir
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi Novida Ginting Manik menilai, sanksi peringatan keras terakhir dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kepada lima komisioner KPU menjadi ancaman tersendiri. DKPP memutuskan pemberhentian tetap kepada Evi, sementara ketua dan anggota KPU RI lainnya dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir.

"Apa yang sekarang ini dialami oleh lima anggota KPU RI yang mendapatkan sanksi peringatan keras terakhir menurut saya adalah sebuah bentuk ancaman bagi KPU RI dalam menjalankan tugas-tugas penyelenggaraan pemilu," ujar Evi dalam pesan singkatnya di Jakarta, Kamis (19/3).

Menurut dia, sanksi tersebut dapat menyebabkan para komisioner menjadi tidak tenang dalam menyelenggarakan pemilihan. Evi mengatakan, sanksi berubah ancaman karena ketika komisioner dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu pada masa mendatang, maka bukan tidak mungkin DKPP menjatuhi sanksi pemberhentian tetap dari KPU.

Padahal, KPU tengah fokus mempersiapkan penyelenggaraan pemilihan. Untuk saat ini, KPU sedang melaksanakan tahapan-tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020, serentak di 270 daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.

"Penyelenggara pemilu harus bisa bekerja tenang dan tidak selalu merasa terancam untuk dipecat," kata Evi

Evi mengaku keberatan atas putusan itu, termasuk terhadap sanksi pemecatan yang diberikan DKPP kepada dirinya. Ia justru menilai, putusan DKPP berlebihan.

Sebab, pengadu dalam perkara ini telah mencabut pengaduannya pada 13 November 2019 lalu. Pengadu merupakan calon legislatif DPRD Provinsi Kalimantan Barat dari Partai Gerindra di daerah pemilihan Kalimantan Barat 6, Hendri Makalau.

Sehingga, kata Evi, seharusnya tidak ada lagi pihak yang dirugikan dalam perkara ini. Menurut dia, DKPP hanya memiliki kewenangan pasif untuk mengadili pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

Artinya, DKPP tidak berwenang melakukan pemeriksaan etik bila tidak ada pihak yang dirugikan dan mengajukan pengaduan. Digelarnya peradilan etik oleh DKPP tanpa adanya pihak yang dirugikan, lanjut Evi, telah melampaui kewenangan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kepada DKPP.

Selain itu, Evi juga menilai bahwa putusan DKPP tersebut cacat hukum karena diambil dalam rapat pleno yang hanya beranggotakan empat anggota DKPP. Padahal, jumlah kuorum pengambilan putusan seharusnya dihadiri lima orang anggota majelis DKPP.

"Putusan ini cacat hukum, akibatnya batal demi hukum dan semestinya tidak dapat dilaksanakan," tutur Evi.

Evi pun berencana menggugat putusan DKPP itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan itu akan dilayangkan dalam waktu dekat, setelah ia dan komisioner KPU lainnya selesai mempelajari putusan DKPP.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement