Jumat 20 Mar 2020 12:58 WIB

Pembatasan Pembelian Bahan Pokok Dinilai Picu Panic Buying

Pembatasan pembelian juga akan meningkatkan harga bahan pokok di pasar tradisional.

Red: Nur Aini
Pekerja mengemas beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta, Rabu (18/3/2020). (ANTARA/Dhemas Reviyanto)
Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto
Pekerja mengemas beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta, Rabu (18/3/2020). (ANTARA/Dhemas Reviyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti menilai pembatasan pembelian bahan pokok meliputi gula, beras, minyak goreng dan mie instan, malah akan dapat mendorong konsumen untuk memborong atau panic buying karena menganggap ketersediaannya yang terbatas di pasaran.

 

Baca Juga

 

"Adanya pembatasan transaksi pangan bukannya menstabilkan pasar. Hal ini justru bisa menjadi alasan bagi konsumen membeli komoditas pangan melebihi dari jumlah yang sesungguhnya mereka butuhkan," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (20/3).

 

 

Ira menilai, selain membuat konsumen panik, adanya larangan itu membuka kemungkinan terjadinya tindakan diskriminatif di toko berbeda. Misalnya, pada ritel di bawah asosiasi bisa saja patuh atas pembatasan, namun tidak patuh pada toko lain yang tidak berada di bawah asosiasi. Hal itu tentu akan merugikan konsumen. Tidak hanya itu, perubahan harga banyak terjadi di pasar tradisional.

 

 

Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), sejak 31 Desember 2019, di saat Pemerintah China melaporkan kasus virus corona pada WHO, tidak ada perubahan harga di pasar modern pada Beras Kualitas Bawah II maupun Super I, masing-masing masih Rp15.600 dan Rp20.750. Namun, ada kenaikan harga cukup signifikan di pasar tradisional. Sejak 31 Desember ke hari ini, Beras Kualitas Bawah II naik 5,58 persen dan Beras Kualitas Super I naik 4,20 persen.

 

 

"Hal ini menunjukkan dampak corona terhadap real income lebih signifikan pada lower income group, terutama yang mengonsumsi produk inferior daripada higher income group yang mengonsumsi produk lebih berkualitas atau yang membelinya di ritel modern," katanya.

 

 

Perubahan harga itu, kata Ira, menunjukkan konsumen pasar tradisional lebih rentan dan harus dilindungi daripada konsumen pada pasar modern atau ritel. Namun, kebijakan itu hanya akan efektif pada peritel besar di bawah asosiasi, sementara dampaknya pada pasar tradisional masih dipertanyakan.

 

 

Pembatasan transaksi memang sesuai pasal 35 dan pasal 94 Undang-Undang (UU) Perdagangan. Namun, menurut pasal 26, dalam kondisi gangguan perdagangan seperti ini, pemerintah berkewajiban menjamin pasokan dan memastikan stabilitas harga kebutuhan pangan dan barang penting, yang diatur selanjutnya oleh Perpres Nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

 

 

Pada Pasal 2 menyebutkan jenis barang penting tersebut termasuk benih, pupuk, gas elpiji, hingga baja ringan. Dalam keadaan seperti saat ini, masker, hand sanitizer, dan obat-obatan juga tentu menjadi penting bagi masyarakat.

 

 

Ketersediaan yang memadai akan membuat harga di pasar menjadi stabil dan terjangkau untuk semua konsumen. Oleh karena itu, pemerintah harus terus memastikan ketersediaan kebutuhan pangan, misalnya dengan membuka keran impor pada kebutuhan pangan strategis. Pemerintah bahkan sudah seharusnya menjadikan pasar lebih leluasa menentukan supply dan demand di pasar bahkan sebelum hal-hal seperti ini terjadi.

 

 

"Pembatasan seperti ini hanya bersifat lebih mendisiplinkan daripada meningkatkan kesadaran dan kemampuan konsumen untuk mengambil keputusan. Pembatasan ini juga tidak sesuai dengan pasal 3 UU Perlindungan Konsumen karena hal ini tidak memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen," ungkap Ira.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement