REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produsen fast fashion dapat memproduksi hingga 42 model fashion dalam waktu 1 tahun, sehingga dapat berakibat pada kelebihan produksi yang berujung pada pembakaran stok pakaian tidak terjual, seperti yang dilakukan oleh retailer H&M pada 2017 (sekitar 19 ton atau setara 50.000 jeans) dan stok Burberry pada 2018 (senilai 38 juta dolar AS).
Dana Thomas dalam bukunya “Fashionopolis” mengatakan beberapa merek fast fashion mungkin tidak mendesain produknya untuk bertahan lama, karena lebih dari 60 persen serat kain yang dibuat saat ini terbuat dari bahan sintetik bukan benang sehingga akan lebih murah memproduksi baju baru daripada mendaur ulang benangnya dari baju bekas. Dan ketika pakaian itu berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), maka pakaian itu akan suit terurai.
Sementara, laporan dari Ellen McArthur Foundation mengatakan industri tekstil saat ini masih menggunakan cara usang yaitu dengan model ekonomi linier (buat-gunakan-buang). Cara itu menghasilkan timbunan limbah dan polusi dari bisnis busana sedunia (diperkirakan mencapai nilai US$500 miliar per tahun).
Hal tersebut dapat menjadi ancaman serius bagi lingkungan. Untuk itu masyarakat diharap dapat mengubah sifat konsumtifnya dalam berbusana sementara pemerintah harus mendesain ulang model industri ekonomi tekstil, berdasarkan prinsip ekonomi sirkular yang ramah lingkungan.