REPUBLIKA.CO.ID, Pohon Zaqqum menjadi salah satu pohon penghasil buah bagi penghuni neraka. Allah SWT mengabarkan tentang kuliner neraka itu dengan membandingkan menu yang ada di surga. Makanan surga merupakan berbagai jenis buah yang segar dan ranum dengan beragam jenis dan cita rasa. Penghuninya akan menikmatinya dengan minuman dari mata air surga.
Allah SWT menguraikan keterangan mengenai zaqqum itu dalam Alquran dengan cukup terperinci. "Apakah (makanan surga) itu hidangan yang lebih baik ataukah pohon zaqqum. Sungguh, Kami menjadikannya (pohon zaqqum itu) sebagai azab bagi orang-orang zalim. Sungguh, itu adalah pohon yang keluar dari dasar neraka jahim. Moyangnya seperti kepala-kepala setan. Maka sungguh, mereka benar-benar memakan sebagian darinya (buah pohon itu), dan mereka memenuhi perutnya dengan buahnya (zaqqum). Kemudian sungguh, setelah makan (buah zaqqum) mereka mendapat minuman yang dicampur dengan air yang sangat panas. Kemudian, pasti tempat kembali mereka ke neraka jahim. (QS As-Shafaat: 62-68).
Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah menuliskan, para ulama menjelaskan kata az-Zaqqum diduga berasal dari kata az-zuqmah yaitu penyakit lepra. Ada juga yang berpendapat jika Zaqqum diambil dari kata at-tazaqqum, yakni upaya menelan sesuatu yang sangat tidak disukai.
Para ulama menggambarkan pohon zaqqum sebagai pohon kecil dengan dedaunan yang sangat busuk aromanya. Getahnya mengakibatkan bengkak bila menyentuh badan manusia. Pohon ini ditemukan di beberapa daerah tandus dan padang pasir. Meski demikian, Quraish Shihab menjelaskan, zaqqum yang dimaksud Alquran bukan termasuk pohon tersebut. Pohon zaqqum yang dimaksud Alquran tumbuh di dasar neraka.
Alquran bahkan menggambarkan kengerian Zaqqum dengan ‘Moyangnya seperti kepala-kepala setan’. Prof M Yunan Yusuf dalam Tafsir Alquran Juz 23 menjelaskan, citra yang dimunculkan Alquran lewat Rasulullah SAW yakni buah Zaqqum yang menakutkan. Moyangnya, yakni tandan buahnya seperti bentuk kepala-kepala setan yang mengerikan.
Sayyid Quthb meamhami ayat ini dengan menjelaskan, jika manusia tidak mengetahui bagaimana rupa kepala setan. Namun, ia tentu mengerikan. Sekadar membayangkannya saja sudah mengundang ketakutan. Bagaimana bila kepala-kepala mengerikan itu mereka makan. Mereka memenuhi perut dengan hidangan darinya. Untuk itu, efek psikologis yang hendak dituju lewat informasi tersebut adalah agar setiap manusia menghindarkan diri dari jalan-jalan yang membuat seseorang akan memakan buah zaqqum itu.
Layaknya makanan di dunia, Zaqqum juga memiliki minuman pendamping. Alih-alih minuman dingin yang menyegarkan, penghuni neraka justru mendapatkan minuman yang dicampur dengan air mendidih yang sangat panas. Ayat Alquran memang tidak menjelaskan apa jenis minuman penghuni neraka ini. Tetapi, air minum air ini dicampur dengan air yang sangat panas.
Banyak ulama juga menyamakan pohon dalam ayat ini dengan ayat-ayat lain di dalam Alquran. Contohnya yakni asy-Syajarah al-Mal'unah (QS Al Isra: 60). Kata ini biasa digunakan dalam arti pohon kayu. Di dalam surah lain, pohon itu dilukiskan seperti kotoran minyak. Allah SWT menjelaskan, sifat-sifat zaqqum di surah Ad-Dukhan. "Sesungguhnya pohon zaqqum itu makanan orang yang banyak berdosa. (Ia) sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam perut, seperti mendidihnya air yang sangat panas." (QS Ad-Dukhan: 43-46).
Pohon ini juga digambarkan sebagai jawaban dari fitnah orang-orang yang zalim. Ketika ayat yang berbicara tentang pohon penghuni neraka ini turun, informasinya mengundang ejekan dan cemoohan dari kaum musyrikin. Abu Jahal bahkan meminta pembantunya membawa kurma lalu berkata: "Apakah buah seperti ini yang diharapkan oleh Muhammad akan menakutkan kita?" Dan ketika dinyatakan bahwa ia tumbuh dari dasar api neraka, mereka berkata: Bagaimana bisa ada pohon yang tumbuh di dasar api neraka?"
Prof Yusnan mengungkapkan, hikmah penjelasan ayat mengenai Zaqqum adalah menimbulkan efek psikologis sehingga ada upaya serius untuk menghindarinya. Tidak ada dosa yang kecil ketika dihadapkan pada keadilan Allah SWT. Sang salik, Ibnu Athaillah as-Sakandari menyebutkan, nasihat tersebut mengingatkan pentingnya bersikap hati-hati (wara’) dalam setiap urusan di dunia ini. Apalagi, bila seseorang sudah mengikrarkan diri sebagai seorang Muslim dan Mu`min.