REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Deasi Widya*
Belum dua bulan selepas tahun baru berlalu, geger virus corona melanda seantero jagat raya. Kegelisahan komunal menyeruak akibat virus yang kian liar menyebar sehingga banyak warga terancam tertular.
Tak hanya dirutuki karena telah merenggut ribuan nyawa, virus yang telah menjadi pandemi dunia ini nyatanya juga menggerogoti perekonomian banyak negara. China tentunya paling terdampak. Indonesia yang berteman dekat dengannya pun ikut pahit merasakan.
Perayaan 70 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan China tampak akan menghadapi ujian berat. Kerja sama ekonomi bilateral kedua negara yang selama ini didominasi oleh sektor perdagangan dan investasi sudah mulai terasa berkontraksi.
Selain mengeluarkan kebijakan berupa stimulus fiskal untuk meminimalkan dampak tergerusnya pertumbuhan ekonomi akibat Covid-19 di dalam negeri, pemerintah semestinya juga mengambil langkah pemulihan perekonomian melalui kebijakan luar negeri.
Di tengah krisis pandemi Covid-19, diplomasi tidak boleh berhenti. Kerja sama internasional, baik multilateral maupun bilateral harus tetap kencang berlari.
Dituntut oleh adanya kepentingan banyak negara, diplomasi diyakini sungguh lihai beradaptasi. Untuk kali pertama pertemuan tahunan pada musim semi oleh World Bank dan International Monetary Fund (IMF) akan dilakukan secara daring. Corona memaksa perubahan tak hanya seremoni belaka melainkan juga dalam menata kerja sama keuangan dunia.
Keberlanjutan hubungan antara dua negara mau tak mau juga harus mengikuti. Dalam hal hubungan bilateral Indonesia dan China, diplomasi pada sektor ekonomi tak pelak perlu dikawal sepenuh hati. Karena tak bisa dipungkiri, kerja sama Indonesia dengan negara panda dinilai paling komplet dan strategis dibanding dengan lainnya.
Investasi China di Indonesia menempati peringkat kedua tahun lalu, dengan valuasi 4,7 miliar dolar AS meliputi 2.130 proyek. Nilai perdagangannya terbesar, mencapai 77,28 miliar dolar AS pada 2018 dan meningkat hingga 79,68 miliar dolar AS pada 2019. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta turis asal China menyambangi tempat-tempat wisata di Indonesia.
Pemerintah dengan kasat mata juga menaruh harap pada Belt and Road Initiative milik China. Sejalan dengan mimpi menjadi Global Maritime Fulcrum, Indonesia ingin bekerja dan membangun bersama-sama.
Namun, virus corona sementara ini menghalangi rupa-rupa rencana. Sebagai langkah pencegahan, kebijakan lockdown di China banyak mengganggu perekonomian dunia karena terganggunya rantai pasokan, melambatnya permintaan dan penurunan aktivitas wisatawan.
Saat seperti ini, diplomasi punya peran penting yang efektif dengan pendekatan persuasi dan empati. Kedua pemimpin negara telah berkomunikasi selepas wabah corona merebak di daratan China. Pemerintah Indonesia, meski jauh tertinggal dalam kapasitas ekonominya, tak ketinggalan memberikan bantuan. Presiden Xi Jinping dengan besar hati telah membalas menyampaikan apresiasi secara resmi.
Tak berlebihan jika kemudian pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengirimkan surat empati kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata China. Budaya Indonesia yang penuh solidaritas dan persaudaraan mencari jalannya merasuk hingga kebijakan luar negeri.
Di tengah pandemi, diplomasi Indonesia tampaknya juga harus beradaptasi. Presiden Jokowi pada awal Januari mengumpulkan para garda depan perwakilan RI di luar negeri untuk kembali menggarisbawahi arah kebijakan diplomasi Indonesia. Merujuk kepala negara, penguatan diplomasi ekonomi adalah wajib kini dan nanti.
Penguatan diplomasi ekonomi menjadi pekerjaan rumah yang tak kurang berat dilakoni saat dunia sedang gulana oleh ulah virus corona. Untuk menjadi kuat, diplomasi ekonomi Indonesia kembali harus mengurai permasalahan yang sudah lama membelenggu erat.
Mewabahnya virus corona hendaknya menjadi momentum untuk memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia, dengan memulainya dari China sebagai mitra utama.
Pertama, membangun empati. Dunia tidak hanya berputar dari roda perekonomian. Pandemi yang terjadi adalah pengingat bagi pemerintah negara-negara seluruh dunia, bahwa krisis kesehatan mampu secara cepat mengubah pilihan kebijakan dalam dan luar negeri.
Saat ini, empati dan persuasi sebagai soft power diplomacy dirasa efektif untuk membentuk preferensi dan mengajak lebih banyak masyarakat agar mendukung kebijakan pemerintah dalam penanggulangan virus corona. Manfaatnya juga mungkin tidak akan dirasakan dalam kurun waktu singkat. Namun, hubungan bilateral yang dimulai dari rasa saling mengasihi dan dirawat dengan penuh empati, merupakan treatment yang baik untuk meningkatkan kerja sama dua negara di masa depan.
Kedua, mengoptimalkan teknologi. Peluang masih dapat kita lihat. Pada saat masyarakat diimbau untuk tetap berada di dalam rumah, saat itu pulalah penjualan ritel dan yang bersifat direct-to-consumer menurun. Sebaliknya, aktivitas perdagangan daring melalui e-commerce meningkat pesat. Data menunjukkan bahwa terjadi kenaikan puluhan kali lipat dalam transaksi digital sejak Februari. Lonjakan secara eksponensial semakin terlihat setelah pasien pertama di Indonesia diumumkan oleh Istana.
Hubungan perdagangan Indonesia-China dapat terus dipertahankan bahkan ditingkatkan dengan optimalisasi digital. Dalam hal ini, diplomasi ekonomi harus berperan lebih proaktif sebagai opportunity seekers. Promosi perlu terus didorong agar secara efektif dapat meningkatkan ekspor, khususnya produk-produk yang semakin dibutuhkan pasar China. Di antaranya, buah tropis, buah dalam kemasan, kopi, rumput laut, sarang burung wallet, udang beku, ikan kaleng dan produk akuatik lainnya.
Ketiga, perkuat koordinasi. Sudah dipahami bahwa koordinasi dalam birokrasi di Indonesia kurang sangkil dan mangkus. Diplomasi ekonomi yang kuat seperti harapan Presiden tidak akan mampu dicapai apabila koordinasi antarinstansi bukan jadi hal pertama yang dibenahi. Di tengah upaya menanggulangi dampak wabah corona, jajaran pemerintahan tampaknya harus bekerja seratus kali lebih serius. Kali ini, koordinasi tidak hanya dibutuhkan di dalam negeri, melainkan juga dengan pemerintah China karena sejumlah warga kita di sana pun perlu perlindungan.
Keempat, jangan sungkan untuk belajar dan mengambil pelajaran dari China. Hingga artikel ini ditulis, tingkat kematian akibat virus corona di Indonesia sudah mencapai 8,1 persen (peringkat keempaat setelah San Marino, Filipina dan Italia) sudah melebihi China tempat virus ini bermula yang “hanya” sebesar 4 persen.
Pemerintah Indonesia semestinya tak kurang berusaha melindungi rakyatnya. Tengoklah pemerintah China yang dapat menekan penyebaran virus hingga sekitar 0,1 persen setelah memasuki bulan Maret. Saat ini, diplomasi empati yang dilakukan kepada China perlu dipetik buahnya.
Bukan untuk meminta bantuan alat kesehatan atau pun uang. Yang lebih signifikan, mintalah kesediaan Pemerintah China untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam upaya pencegahan dampak dari virus corona secara maksimal. Dengan begitu, meski di tengah krisis, hubungan baik yang saling membutuhkan dan menguntungkan dapat terus dijaga.
Sungguh, semua kalangan sedang menengadahkan tangan berharap virus corona segera binasa. Setelahnya, kita pantas untuk terus mencari pendekatan adaptif dalam memperkuat diplomasi ekonomi yang kita dapatkan pascapandemi.
Tentunya sambil secara efektif memadukan dengan praktek diplomasi tradisional yang sudah dijalankan sejak dimulainya hubungan antarnegara. Diplomasi ekonomi yang beradaptasi dengan empati, akan sangat membantu menangani masalah-masalah penting dunia lainnya. Untuk kemajuan peradaban, dan lebih penting lagi, demi keberlangsungan kemanusiaan.
*Analis Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Internasional Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.