REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Lembaga Bantuan Teknologi bekerjasama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional menggelar focuss group discussion (FGD) tentang pendayagunaan antariksa wilayah Indonesia.
Dalam FGD yang menggunakan aplikasi Zoom Meeting guna mengantisipasi penyebaran virus Corona (Covid 19), menghadirkan Ketua LBT KH Hasyim, Direktur Utama LBT Prasetyo Sunaryo, Humas Lapan Jasyanto, Bidang Sistem Utama Peroketan Lapan Heri Budi Wibowo, mantan sekretaris utama Lapan Bambang Kusumanto dan Iskandar sebagai moderator.
Prasetyo menilai, FGD adalah upaya menginformasikan potensi-potensi yang perlu dikembangkan yang dimiliki bangsa Indonesia. “Kita harus tahu bagaimana mengelola aset ruang angkasa yang harus berintegrasi dengan darat dan laut,” ujar dia dalam keterangannya, Ahad (22/3).
Dia menyebut misalnya, mestinya tidak lagi baru mencari lokasi ikan di laut, tetapi sudah mengarah ke titik banyaknya ikan berkumpul yang akan ditangkap nelayan.
Dalam pandangan Heri Budi Wibowo, penguasaan teknologi antariksa menjadi syarat untuk dapat memajukan Indonesia melalui industri 4.0.
Dia menegaskan, jika Indonesia ingin menjadi negara maju, seyogianya mengembangkan industri 4.0 ysng sudah ada.
Namun, kata dia, digitalisasi terjadi di setiap aspek kehidupan di masa depan, di mana teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang bergantung pada satelit semakin kuat berperan. Sehingga tidak bisa terlepas dari teknologi antariksa.
Dia menyebut Indonesia sudah memiliki satelit komunikasi yang dimiliki Telkom, sedangkan Lapan memiliki satelit surveillance.
Namun, menurut dia, belum ada satelit khusus untuk navigasi. Dengan posisi strategis Indonesia tepat di garis khatulistiwa, sayangnya belum mampu memanfaatkan dan menguasai secara maksimal ruang angkasa yang dimiliki.
Menurut Bambang Kusumanto, dengan rentang lanskap Indonesia yang begitu luas sepanjang khatulistiwa tentu sangat strategis. Dia menjelaskan, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan disebutkan ruang angkasa yang dimaksud merupakan milik umum.
“Pertanyaannya sejauh mana negara punya teknologi antariksanya,” ujar dia.
Dia menjelaskan, sebatas pengetahuannya hanya ada empat satelit di Indonesia, sementara Singapura yang luas negaranya hanya setitik saja dalam peta pula puluhan satelit yang mengorbit dì khatulistiwa.
Sementara itu Jasyanto mengakui pembangunan Bandar Antariksa memang membutuhkan biaya besar perhitungan yang cermat, karena itu akan melibatkan pihak swasta untuk pembangunannya.
Berangkat dari kondisi inilah, ujar dia, LAPAN terus melakukan sosialisasi terkait rencana pembangunan Bandar Antariksa ini, sekaligus mencari investor untuk pembangunannya.
Dia menyebutkan hasil survei ada beberapa tempat untuk Bandar Antariksa ini, seperti Pulau Morotai, Bengkulu, Ternate, dan Biak. Lokasi terakhir yaitu Biak dipilih sebab letaknya berdekatan dengan pantai.
“Insya Allah pada 2040 Indonesia akan memiliki Bandar Antariksa yang akan dioperasikan di Biak,” ujar dia sembari berseloroh jika Papua terkenal dengan mutiaranya, Biak nantinya terkenal dengan pulau antariksa.