REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dokter umum dan spesialis jantung sekaligus mantan Ketua Umum BEM UI tahun 1998, Berlian I Idris, mengatakan laporan mengenai casus COVID-19 merebak dari banyak daerah di luar Jakarta. Pasien COVID-19 ini terancam akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat perawatan.
‘’Apa yang disampaikan juru bicara COVID-19 Achmad Yurianto di acara podcast Deddy Corbuzier bahwa banyak rumah sakit (RS), dalam hal ini RS swasta, menolak kasus COVID-19 karena pertimbangan bisnis bukan hanya menyakitkan hati, tapi juga berbahaya,’’ tegas Berlian yang juga Master of Public Health dan Doctor of Science lulusan Netherlands Institute for Health Sciences, Erasmus MC, the Netherlands, kepada Republika.co.id, (Senin/23/3).
Menurut Berlian, adanya narasi ini bila dibiarkan meluas tanpa ada penjelasan yang baik akan berbahaya. Ini karena bisa menjadi pembenar bagi masyarakat seolah membenarkan bahwa RS swsta adalah institusi jahat yang menolak pasien karena alasan bisnis takut kehilangan pasien. Hal ini merusak solidaritas yang sangat diperlukan dalam menghadapi pandemi ini.
“Sungguh tidak tepat jika dikatakan rumah sakit swasta takut kehilangan pasien lain karena merawat pasien COVID-19. Sejujurnya, semua rumah sakit saat ini ingin mengurangi jumlah pasien. Manajemen, tenaga kesehatan dan seluruh pegawai rumah sakit, seperti layaknya orang kebanyakan, ingin sekali bisa bekerja dari rumah, karena tidak ada yang ingin tertular virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19 ini. Namun ini tentu tidak memungkinkan, pegawai rumah sakit, terutama tenaga kesehatan, masih bekerja walaupun sudah banyak yang tertular bahkan sampai meninggal dunia,’’ katanya.
Mengatasi kendala tersebut, lanjut Berlian, pihaknya mendorong agar pemerintah pusat segera merealisasikan rencana pembuatan rumah sakit khusus COVID-19 baik dari rumah sakit yang sudah ada atau mengubah fasilitas lain seperti Wisma Atlet di Kemayoran yang menjadi rumah sakit,’’ ujar Berlian
Namun, lanjutnya, janganlah rumah sakit khusus tersebut dibuat di Pulau Galang. “Bagaimana kita bisa membawa pasien ke sana? Indonesia adalah negara yang luas, dengan belasan ribu pulau. Tentu akan sangat sulit untuk merujuk pasien ke sana.”
Melihat tantangan tersebut, Berlian berharap dengan sangat agar mulai sekarang pemerintah pusat dan daerah menyiapkan Rumah Sakit khusus COVID-19 di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Sebab tindakan ini adalah pilihan kebijakan yang paling logis.’’Jadi jangan menunggu daerah tersebut ada pasien COVID-19 yang memerlukan perawatan.”
Pada sisi lain, katanya, mekanisme penetapan rumah sakit khusus tersebut tidak bisa main tunjuk, apalagi dengan mem-fait accompli, langsung mengumumkan di media massa.
“Harus benar-benar disiapkan. Berbahaya jika rumah sakit dipaksa merawat pasien COVID-19, padahal rumah sakit tersebut tidak siap. Ini sangat berpotensi membantu memperluas penyebaran, belum lagi membahayakan mereka yang bertugas. Kita tahu tidak ada RS khusus infeksi selain RS Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso,’’ tandas Berlian.
Dia pun menegaskan, bila sampai kini kebanyakan rumah sakit tidak punya fasilitas isolasi khusus yang terpisah. Walaupun kamarnya terpisah, ruang isolasi ini bercampur dalam satu bagian, di satu lantai, dengan ruang perawatan pasien non infeksi. Kriteria ruang isolasi yang ideal pun belum tentu terpenuhi. Belum lagi saat ini semua fasilitas kesehatan, puskesmas, klinik dan RS, kesulitan mendapat alat pelindung diri yang terstandar.
“Selain itu, pasien non COVID-19 akan ketakutan bila mereka tahu ada pasien COVID-19 yang dirawat satu blok dengan mereka,’’ tuturnya.
Bagaimana untuk mencegah penularan? Berlian mengatakan, untuk mencegah penularan, setiap ada pasien terduga yang bahkan awalnya masuk dengan diagnosis lain, bukan orang dalam pemantauan (ODP), satu blok kamar yang terdiri dari banyak kamar di RS harus dikosongkan. Setelah pasien tersebut pulang atau dirujuk, blok tersebut kemudian disterilisasi dan petugas yang sempat kontak dirumahkan.
‘’Bila prosedur ini dijalankan maka jelas potensial melumpuhkan operasional kebanyakan rumah sakit yang jumlah perawat dan ruangannya terbatas. Semua rumah sakit bahkan walaupun belum pernah mendapat OPD atau pasien dalam pengawasan (PDP) saat ini membatasi kunjungan pasien ke poliklinik untuk menerapkan jaga jarak antar pasien demi mencegah penularan,’’ katanya lagi. Meski dengan banyaknya tantangan, Bila menyatakan semua pihak perlu bersyukur bahwa sejak era BPJS Kesehatan akses masyarakat ke pelayanan kesehatan jauh membaik. Rumah sakit, termasuk RS swasta, kewalahan dan ruangannya sering kali penuh. Banyak RS yang harus menerapkan daftar tunggu pelayanan.
‘’Dalam hal ini pun juga harus diingat bahwa fenomena ini masih ada, masyarakat yang sakit non COVID-19 tidak berkurang dengan adanya COVID-19. Jika RS yang tidak siap dipaksakan merawat pasien COVID-19, kemudian RS tersebut 'lumpuh' karena merawat pasien COVID-19, maka yang akan rugi adalah masyarakat banyak. Efek berantainya akan mengerikan, keseluruhan sistem pelayanan kesehatan dapat lumpuh. Kemana pasien - pasien non COVID-19 dapat berobat?,’’ tegasnya balik bertanya.
Menyadari semua kendala itu, maka persiapan RS menjadi RS khusus COVID-19 harus sepenuhnya dibantu oleh pemerintah. “Kita tahu banyak RS yang kesulitan dana segar salah satunya akibat pembayaran BPJS Kesehatan yang tertunda. Tidak mungkin rasanya menyerahkan persiapan tersebut ke RS yang bersangkutan. Sarana dan prasarana seperti fasilitas isolasi yang terstandar, peralatan medis yang diperlukan termasuk alat pelindung diri, serta personil yang cukup harus disiapkan.”
“Karena itu, sekali lagi, kita harus mendorong agar pemerintah menyiapkan RS khusus COVID-19 di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Agar pasien COVID-19 bisa ditangani dengan baik, dan sistem pelayanan kesehatan tetap dapat berfungsi untuk melayani semua masyarakat yang membutuhkan,’’ tegas Berlian I Idris.