Senin 23 Mar 2020 08:36 WIB

Corona Menyadarkan Manusia Kembali

Wabah penyakit bukan sekali ini saja pernah terjadi pada umat manusia

Warga bermasker berjalan di pusat Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China(AP Photo/Arek Rataj)
Foto: AP Photo/Arek Rataj
Warga bermasker berjalan di pusat Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China(AP Photo/Arek Rataj)

Oleh Ali Akbar, pegiat arkeologi, pengajar di Departemen Arkeologi Universitas Indonesia

Arkeolog sering ditanya mengapa suatu peradaban dapat musnah. Saat ekskavasi cukup sering ditemukan peninggalan masa lalu. Bukti material yang terlihat mata itu yang menjadi dasar membuat jawaban.

Jika benteng ditemukan dalam keadaan hancur, kemudian ada kerangka manusia dan senjata, maka arkeolog mungkin menjawab pernah terjadi pertempuran. Jika reruntuhan kota ditemukan kembali di bawah batuan vulkanik, maka arkeolog mungkin menjawab karena letusan gunung berapi. Namun, tidak jarang kota ditemukan kembali dalam kondisi relatif utuh, terkesan ditinggalkan begitu saja oleh masyarakatnya.

Virus corona yang trending topic membuka mata arkeolog, bahwa tidak tertutup kemungkinan peradaban di masa lalu dikalahkan oleh virus. Saat ini beredar foto dan video beberapa kota besar di negara superpower dalam keadaan sepi nyaris tanpa penghuni. Kota itu tidak mengalami kerusakan, tetapi masyarakat menghindarinya.

Jika zaman dahulu wabah melanda kota, mungkin penduduk akan pindah ke tempat lain karena ada area yang belum dikuasai pihak lain. Di area baru dibuat peradaban baru. Di zaman sekarang, bumi telah dikavling oleh tiap negara. Sehingga, tiap negara sekuat tenaga bertahan, melindungi, dan memulihkan kondisi warga negara di wilayah kedaulatannya.

Virus corona menyebar ke lebih dari 160 negara di berbagai belahan benua. Lebih dari 12 ribu manusia meninggal dalam waktu sekitar tiga bulan. Virus ini menyebabkan beberapa pusat peradaban memilih lockdown. Akankah peradaban umat manusia menjadi lockout?

Tinjauan lintasan peradaban berikut ini mungkin dapat sedikit mencerahkan. Arkeolog pengguna teori evolusi menyatakan peradaban manusia berkembang dari masa ke masa. Awalnya pada masa prasejarah bertahan hidup dengan berburu, mengumpulkan makanan, dan berpindah-pindah di alam terbuka bersama keluarga kecilnya.

Sampailah periode manusia menetap sementara di gua atau ceruk bersama keluarganya termasuk kakek dan neneknya. Adanya tempat berteduh menurut para arkeolog membuat manusia memiliki waktu luang. Manusia dapat berpikir tenang, mengenali diri dan potensinya serta menelurkan ide. Akhirnya di periode berikutnya, lahirlah revolusi umat manusia.

Gordon Childe, arkeolog Inggris tahun 1936 dalam buku Man Makes Himself menyatakan umat manusia membuat tiga revolusi dalam lintasan zaman. Revolusi pertama adalah Neolithic Revolution atau Revolusi Pertanian sekitar 10 milenial sebelum Masehi. Manusia mampu bercocok tanam dan menjinakkan hewan sehingga makanan dapat diproduksi dan kebutuhan pangan terpenuhi. Umat manusia menetap di rumah membentuk perkampungan. Revolusi kedua adalah Urban Revolution atau Revolusi Perkotaan sekitar 4.000 sebelum Masehi atau 6.000 tahun yang lalu. Terbentuklah kerajaaan besar dan pemukiman kota. Revolusi ketiga adalah Industrial Revolution yang berawal di Inggris sekitar abad ke-18 Masehi, ketika penemuan mesin uap membuat produksi dapat berlipat ganda.

Revolusi Industri 4.0 lebih tepat disebut Industrial Revolution 3.4.0 karena pengembangan Revolusi Industri di Inggris dua ratus tahun lalu. Revolusi Industri 1.0 dilanjutkan dengan Revolusi Industri 2.0 dengan penemuan listrik. Revolusi Industri 3.0 dengan penemuan komputer dilanjutkan dengan Revolusi Industri 4.0 yang menggabungkan semua revolusi sehingga terkoneksi melalui internet.   

Ternyata, Revolusi Industri 4.0 dibayangi Disruption Era, periode penuh gangguan. Revolusi telah merongrong manusia itu sendiri. Banyak jenis pekerjaan hilang digantikan oleh pekerja virtual. Artificial intelligence yang tidak punya hati mulai mengambil alih peran manusia.

Sebenarnya bukan sekali ini terjadi disruptif pada peradaban manusia. Yuval Noah Harari, pemikir dan penulis terkenal dengan buku seperti Sapiens dan Homo Deus menyebutkan Revolusi Pertanian dengan berlimpahnya pangan mengubah pola hidup manusia sehingga manusia pun terkena penyakit seperti diabetes. Mungkin itu yang disebut jebakan peradaban.

Jika pada masa Revolusi Pertanian manusia disebut punya kebudayaan, maka saat Revolusi Perkotaan manusia mencapai peradaban, yakni kebudayaan yang unggul. Keunggulan antara lain dicapai dengan menaklukkan kerajaan lainnya sehingga periode ini diisi dengan perang, intrik, koalisi yang saling menjatuhkan, dan balas dendam tak berkesudahan.

Revolusi Industri juga punya sisi kelam seperti eksploitasi terhadap segolongan manusia yang menjadi tenaga kerja untuk memenuhi tuntutan produksi. Umat manusia pun berlomba mengeksploitasi lingkungan alam karena mesin produksi sudah terlanjur menyala dan pola konsumsi umat manusia sudah terlanjur bergaya. Awalnya hanya untuk bertahan hidup, kini hidup harus bergaya.

Revolusi Industri banyak menghasilkan kompetisi tidak sehat antarsesama manusia. Jepang sebagai pelopor kemajuan teknologi segera menyadari kekurangan yang ada. Mulailah digagas Society 5.0. Intinya teknologi digunakan oleh manusia untuk memenuhi tanggung jawab sosialnya. Akankah justru kembali menghasilkan jebakan peradaban?

Kini, distruptif bukan semata disebabkan manusia yang mencoba menjadi super, tetapi oleh sesuatu yang super mini. Kini, wabah COVID-19 memaksa manusia mengurangi aktivitas pertanian, memperlemah banyak organ kenegaraan, melambatkan mesin industri, bahkan membatasi mobilitas sosial. Social distance membuat manusia kembali bermukim di tempat kediamannya masing-masing. Akibatnya, waktu seakan berjalan lambat dan akhirnya manusia mempunyai waktu luang. Untunglah, dengan segala keterbatasan yang ada, bentuk tempat tinggalnya bukan lagi berupa gua prasejarah.

Manusia yang terpacu dan dipacu berbagai tuntutan kehidupan seakan melupakan jati dirinya sebagai manusia itu sendiri. Inilah saatnya manusia dari tempat kediamannya masing-masing berintrospeksi diri dan berpikir jernih. Katakanlah, ini Humanity 6.0. Umat manusia yang merupakan umat beragama kini dapat lebih mengenal Sang Pencipta. Manusia dapat merenung dan menyelami jiwa dan batinnya. Lalu. memunculkan kembali sifatnya yang penuh kasih, penuh perasaan, dan penuh hasrat berbagi. Dengan memadukan hati, indera, dan akal semoga menghasilkan gagasan cemerlang.

Manusia berkesempatan memahami dan segera mengurus keluarga sebagai unit terkecil. Lalu, bergegas berpartisipasi dalam lingkungan sosialnya. Memaksimalkan seluruh revolusi yang pernah dihasilkan. Meminimalisir seluruh disruptif yang pernah terjadi. Manusia hidup di bumi yang awalnya tanpa batas kerajaan apalagi negara. Nilai kemanusiaan hendaknya menerobos ke dalam hati sanubari setiap manusia di manapun ia berada. Jika ada manusia yang mengail di air keruh, maka akan dihadapi manusia lain yang kini jumlahnya lebih besar dan punya hati nurani.

Arkeolog menemukan kembali peradaban yang punah. Akan tetapi, ada peradaban yang masih berlanjut, terbukti dengan adanya kita saat ini. Wabah bukan sekali ini pernah terjadi pada umat manusia. Umat manusia yang ada saat ini bertanggung jawab mengambil pelajaran dari kisah umat sebelumnya.

Corona telah memanusiakan manusia. Wabah corona telah mengubah wajah dunia. Inilah kesempatan bersama menghasilkan wajah yang lebih baik bagi peradaban umat manusia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement