Senin 23 Mar 2020 11:11 WIB

Komisioner KPU Evi: Putusan DKPP Berpotensi Abuse of Power

Komisioner KPU Evi resmi mengajukan Keberatan putusan DKPP.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Teguh Firmansyah
Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik beserta jajaran anggota  KPU menyampaikan surat keberatan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Senin (23/3).
Foto: Dok. Pribadi
Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik beserta jajaran anggota KPU menyampaikan surat keberatan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Senin (23/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik telah menyerahkan surat keberatan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait putusan atas pemberhentian dirinya, Senin (23/3).

Melalui surat dengan nomor 20/B/LNP/III/2020 yang ditujukan Pelaksana Ketua dan Anggota DKPP, Evi menyatakan keberatan dengan putusan DKPP nomor 317-PKE-DKPP/2019 yang memberhentikan dia sebagai  Komisioner KPU.

Baca Juga

"Putusan tersebut sangat berlebihan dan berpotensi abuse of power, oleh karenanya pada hari ini, dengan mempedomani Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014  tentang Administrasi Pemerintahan, saya mengajukan keberatan kepada DKPP terhadap Putusan DKPP 317-PKE-DKPP/2019," ujar Evi dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (23/3).

Evi menjelaskan alasannya keberatannya antara lain Majelis Sidang DKPP tidak pernah melakukan pemeriksaan keterangan  terhadap pengadu pada 13 November Tahun 2019, maupun persidangan pada 17

Januari 2020. Hal ini kata Evi, berbeda dengan poin kesimpulan putusan DKPP yang menyatakan fakta persidangan didapat, setelah memeriksa keterangan pengadu, jawaban dan keterangan para teradu.

Apalagi, pengadu atas nama Hendri Makaluasc pada saat diminta keterangan justru membacakan surat pencabutan laporannya/pengaduannya, dan pada sidang 17 Januari 2020, pengadu maupun pengacaranya tidak lagi menghadiri sidang DKPP.

"Dengan demikian kesimpulan Majelis DKPP tersebut diatas, tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan, sehingga kesimpulan Majelis DKPP yang dijadikan dasar putusan dalam perkara 317-PKE-DKPP/2019 tidak beralasan hukum," ujar Evi.

Kedua, Evi melanjutkan, DKPP dalam pertimbangannya menyatakan tidak terikat dengan laporan pengadu, dan untuk itu DKPP dapat saja memeriksa dan memutus sekalipun pelapor sudah mencabut laporannya. Namun, DKPP mengambil kebijakan yang berbeda dalam perkara lain.

Ia mencontohkan terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik yang tercatat dalam Register Pengaduan No. 134/DKPP- PKE-VI/2017 DKPP menetapkan, menyatakan :

“Pengaduan Pengadu tidak dapat dilanjutkan ke tahap putusan karena pada tanggal 1 Desember 2017 Pengadu atas nama Bertholomeus George Da Silva telah melayangkan surat pencabutan gugatan atau pengaduan."

"Perlakuan yang berbeda ini membuka ruang subjektivitas karena tidak ada aturan dan ukuran yang jelas baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 maupunPeraturan DKPP untuk menentukan apakah satu aduan dapat diteruskan atau tidak jika pengadu mencabut aduannya," ujar Evi.

Selain itu, Evi juga menilai dalam putusam terhadapnya, DKPP tidak melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 mengenai rapat pleno Putusan yang dilakukan secara tertutup yang dihadiri oleh tujuh orang anggota DKPP kecuali dalam keadaan tertentu dihadiri paling sedikit lima orang.

Ia menerankan, dalam memutuskan putusan terhadapnya, rapat pleno hanya dihadiri oleh empat orang anggota DKPP. Dengan demikian, Evi menyebut putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tidak memenuhi syarat qorum rapat pleno untuk menjatuhkan putusan.

"Keputusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 dibuat dengan cara yang terburu-buru, tidak cermat, tidak mempertimbangkan qorum ini mestinya dinyatakan  cacat hukum dan harus dinyatakan batalkan demi hukum," ujarnya.

Selain itu, ia mengungkapkan DKPP dalam pertimbangan hukum DKPP menyatakan ia selaku teradu VII sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu memiliki tanggungjawab etik lebih besar atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil Pemilu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya.

Ia menilai, tuduhan itu terlalu berlebihan. Sebab dalam mekanisme pengambilan keputusan di KPU melalui mekanisme rapat pleno dengan prinsip

kolektif kolegial.

Menurutnya, sebagai Koordinator divisi, ia hanya berfungsi untuk mengkoordinasi, mengendalikan, membina, melaksanakan, gugus tugas divisi yang juga harus dipertangungjawabkan dalam rapat pleno.

 

Apalagi, dalam laporan pengadu maupun dalam fakta persidangan tidak ada secara spesifik membahas perannya dalam mengendalikan apalagi mengintervensi putusan KPU Provinsi Kalimatan Barat.

Begitu juga, tidak ada bukti perbuatan yang dapat secara nyata menjadi alasan untuk menyatakan bahwa ia secara //inperson// dapat dikategorikan pelanggaran.

Karena itu, ia menilai putusan DKPP cacat prosedur baik pada mekanisme beracara maupun dalam proses pengambilan keputusan. Menurutnya, perbuatan tersebut tidak saja telah mengesampingkan hukum tetapi juga telah

secara nyata melanggar asas legalitas.

"Atas pertimbangan pokok-pokok keberatan tersebut maka saya meminta kepada DKPP Republik Indonesia Untuk membatalkan putusan DKPP Nomor 317-PKE- DKPP/2019 dan meminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan putusan DKPP tersebut," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement