REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan tujuh catatan kritis terhadap 100 hari pertama kepemimpinan Firli Bahruri dan empat komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lainnya. ICW menilai kepemimpinan mereka minim prestasi dan surplus kontroversi.
"Alih-alih menunjukkan kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya, justru yang dihasilkan adalah berbagai kontroversi. Karena itu pula, kepercayaan publik terhadap KPK turun drastis," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Senin (23/3).
Menurunnya kepercayaan publik itu, lanjut Kurnia, tampak dari hasil riset Indo Barometer dan Alvara Institute pada awal tahun 2020. "Dua riset itu sekaligus mengkonfirmasi pesimisme masyarakat luas atas proses seleksi pimpinan KPK yang dianggap tidak kredibel, ceroboh dan tidak mengindahkan berbagai rekam jejak yang ada," katanya.
Berdasarkan catatan ICW, kata Kurnia, ada 7 kontroversi publik yang ditimbulkan oleh Firli Cs sejak memimpin KPK per 20 Desember 2019 lalu. Pertama, gagal menangkap buronan. Sebagaimana diketahui bahwa dua buronan KPK saat ini tak kunjung bisa ditangkap, yakni Harun Masiku dan Nurhadi.
Padahal rekam jejak lembaga anti rasuah itu selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri. "Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Kolombia," kata Kurnia.
Kedua, Komisioner KPK tidak memberikan informasi yang transparan terkait penanganan perkara kepada publik. Hal ini bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron.
Sampai saat ini, kata dia, tidak ada satu pun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut. Bahkan saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Ketua KPK menolak memberikan jawaban ketika ditanya tentang kejadian di PTIK.
Ketiga, Komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. Bukti konkret atas tindakan ini dapat dilihat ketika Penyidik KPK, Kompol Rossa, diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas.
"Padahal yang bersangkutan sedang menangani perkara dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan mantan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku," ucapnya. Terlebih, jabatan Kompol Rossa baru akan berakhir pada September mendatang dan ia juga tidak pernah dijatuhi sanksi apa pun selama di KPK.
Keempat, Komisioner KPK berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku.
Memang secara yuridis hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor. "Akan tetapi jika dilihat lebih detail pada bagian penjelasan maka niat dari Komisioner KPK itu keliru. Sebab, metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara. Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku merupakan tindak pidana suap," jelas Kurnia.
Kelima, jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. Data KPK menyebutkan sejak tahun 2016-2019 lembaga anti rasuah itu telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang.
"Namun pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo. Akan tetapi dua perkara itu bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindiknya sudah ada sejak era Agus Rahardjo Cs," katanya.
Keenam, Komisioner KPK terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independesi dan etika pejabat KPK. Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara. Tiga di antaranya kunjungan ke DPR RI.
"Ini jelas menggambarkan bahwa para Komisioner KPK tidak memahami pentingnya menjaga independensi kelembagaan. Dalih sosialisasi pencegahan tidak dapat diterima dengan akal sehat karena strategi pencegahan sudah jelas alur, pendekatan dan kebijakan-kebijakan teknisnya," katanya.
Ketujuh, Komisioner KPK mengumumkan kepada publik terkait penghentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. Tentu publikasi semacam ini tidak lazim dan belum pernah terjadi di KPK.
Sebab, lanjut dia, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan. Selain itu dalam UU KPK, UU Tipikor, bahkan KUHAP sekali pun memang tidak pernah mengenal istilah publikasi penghentian di tingkat penyelidikan.
Kurnia menambahkan, faktor UU KPK baru turut mempengaruhi ritme kerja KPK. Mulai dari proses penindakan yang terlalu birokratis karena adanya Dewan Pengawas, kelembagaan yang tidak lagi independen, sampai pada kekhawatiran perkara besar akan dihentikan melalui instrumen surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan.
"Pada akhirnya akar persoalan pemberantasan korupsi saat ini ada pada komitmen Presiden Joko Widodo dan segenap anggota DPR RI. Sebab bagaimanapun persoalan stagnasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi adalah produk politik eksekutif dan legislatif," tutup Kurnia.