REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Raden Muhammad Adnan berkiprah dalam banyak bidang, mulai dari sosial, pendidikan, hingga politik pergerakan. Luasnya kontribusi tokoh tersebut sebagai bentuk cintanya kepada agama dan bangsa.
Lelaki kelahiran 16 Mei 1889 itu berasal dari keluarga ningrat asal Kauman, Surakarta, Jawa Tengah. Adnan merupakan putra keempat dari 10 bersaudara.
Ayahnya bernama Kanjeng Raden Penghulu Tafsir Anom V (1854-1933), seorang ulama sekaligus abdi dalem Keraton Surakarta. Sejak masa kecil, dia dididik dengan cara dan semangat hidup bersahaja.
Adnan pertama kali mengenal huruf Arab melalui bapaknya. Saat itu, belum banyak sekolah formal yang didirikan kalangan pribumi. Selain mengaji Alquran kepada orang tuanya, dia juga belajar menulis dan membaca aksara Jawa di Sekolah Partikelir Solo.
Adnan kecil mengakrabi literasi huruf Latin serta pengetahuan umum lainnya melalui guru yang secara khusus didatangkan ke rumahnya. Beranjak remaja, dia didaftarkan pada Sekolah Rakjat dan kemudian Madrasah Manbaul Ulum.
Dari lembaga tersebut, pemuda ini lulus pada 21 April 1906. Saat usianya mencapai 13 tahun, Adnan menjalani rihlah keilmuan agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam masa ini, dia menempuh peran sebagai seorang santri kelana. Di antara lembaga tempatnya menuntut ilmu adalah Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk yang diasuh Kiai Zaenuddin.
Selain itu, dia juga pernah mondok di Pesantren Mangunsari yang dikelola Kiai Imam Bukhari. Berikutnya, Pondok Pesantren Tremas Pacitan yang dipimpin Kiai Dimyati Abdullah. Akhirnya, Adnan kembali ke Surakarta serta berguru kepada Kiai Idris di Pesantren Jamsaren.
Jamsaren pada waktu itu merupakan pesantren yang cukup besar dan terkenal di seantero Jawa. Bangunan yang menampung para santri berbahan anyaman bambu. Kondisi yang serba terbatas tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk maju. Adnan sendiri, misalnya, selama di Pesantren Jamsaren mampu mempelajari dan menghafal antara lain seribu bait kitab Alfiyah karya Ibnu Malik.
Saat berusia 17 tahun, Adnan menunaikan ibadah haji. Kesempatan ini juga dimanfaatkannya untuk menuntut ilmu kepada para alim ulama masyhur di Tanah Suci. Selama perjalanan, dia diiringi dua saudara kandungnya, yakni Sahlan dan Muhammad Thohar. Delapan tahun lamanya dia memperdalam ilmu agama Islam di Hijaz, Makkah dan Madinah.
Salah seorang gurunya di sana adalah Kiai Mahfudz at-Tirmisi (1868-1919), seorang ulama asal Pacitan, Jawa Timur, yang lama mengajar di Makkah. Dalam bidang ilmu hadits, silsilah keilmuan Syekh at-Tirmisi mencapai gurunya, Abu Bakat Ibnu Muhammad Syata al-Makki, lalu sampai pada al-Bukhari.
Selama di Tanah Suci, Adnan belajar dengan tekun. Namun, pada 1914 Perang Dunia I pecah. Kabar itu sampai di Jawa. KRP Tafsir Anom V lantas menyuruh putranya itu agar kembali pulang ke Surakarta. Adnan pun menurutinya.
Dengan menumpang kapal laut, dia akhirnya tiba dengan selamat pada 1916.