REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai putra penghulu Keraton Kasunanan Surakarta, Raden Muhammad Adnan muda dituntut untuk memahami seluk-beluk adat Jawa. Tambahan pula, tradisi setempat saat itu masih menunjukkan sifat feodal.
Akan tetapi, pemahaman keislaman membuatnya dapat terus berpikir kritis. Ketajaman pikiran itu diimbangi dengan kepekaan hati. Dalam hal ini, dia terbantu oleh bekal pendidikan dari ayahnya, yang mengajarkan cara hidup salik, seperti zuhud atau kesederhanaan.
Sekembalinya dari Tanah Suci, Adnan terus menuntut ilmu di Madrasah Mambaul Ulul Solo. Setelah cukup umur, dia menikah dengan Siti Maimunan binti Haji Shofawi. Keduanya sempat dipertemukan saat masih di Makkah. Mulanya, Adnan berkenalan dengan H Akram. Saudagar kaya dari Laweyan, Surakarta, itu sedang beraktivitas di Tanah Suci.
Adnan kemudian dijodohkan dengan cucu H Akram, yakni Siti Maimunah. Putri kedua haji Shofawi itu lahir pada 1907. Artinya, ada jarak usia 18 tahun lebih muda daripada dirinya. Dari pernikahannya, Adnan dikaruniai 15 orang putra. Anak pertama hingga keenam sayangnya wafat dalam usia muda. Pada 13 Januari 1943, Siti Maimunah wafat. Jasadnya dikebumikan di kompleks pemakaman umum Kawi-Kawi, kawasan Gang Sentiong, Jakarta.
Beberapa bulan kemudian, Kiai Adnan dianjurkan menikah lagi oleh karib kerabatnya. Kali ini, dia berjodoh dengan seorang janda bernama Nyonya Salamah. Istri keduanya ini merupakan mantan istri adiknya, Muhammad Ishom, yang telah meninggal pada 1941.
Di Jakarta, keluarga Kiai Adnan bertempat tinggal sejak Desember 1941. Namun, dalam masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, kondisi Jakarta tak aman lagi. Kiai Adnan pun memboyong keluarganya ke Surakarta.
Semasa hidupnya, dia telah banyak menulis buku dengan tema yang beragam. Yang paling populer di antaranya adalah Tafsir Alqur’an Suci Basa Jawi. Kepakarannya tak hanya dalam bidang tafsir, melainkan juga fiqih dan akhlak.
Terkait ilmu akhlak, ia menulis Hidayatul Islam dengan memakai bahasa Jawa Pegon dan disertai sumber-sumber dari Alquran dan hadis. Buku ini terbit pada 1941.
Kiprah perjuangan Kiai Adnan antara lain melalui jalur organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Dia pernah menjadi panasehat Syuaria Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Dewan Pimpinan Umum PBNU pada 1950. Di luar itu, dia juga menginisiasi pembangunan Masjid Jami’ Tegalsari.
Kiai Adnan wafat dalam usia 80 tahun pada 24 Juni 1964. Jenazahnya dimakamkan di Barisan Kiai, Pajang, Surakarta. Meskipun telah tiada, Kiai Adnan mewariskan pemikirannya kepada generasi selanjutnya.