Selasa 24 Mar 2020 13:04 WIB

KH Raden Muhammad Adnan, Sang Rektor Pertama UIN Suka

KH Raden Muhammad Adnan merupakan rektor pertama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Rep: Muhyiddin/ Red: Hasanul Rizqa
Ilustrasi KH Raden Muhammad Adnan, Sang Rektor Pertama UIN Suka
Foto: dok UIN Suka
Ilustrasi KH Raden Muhammad Adnan, Sang Rektor Pertama UIN Suka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor pertama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) merupakan seorang ulama yang pejuang. Tokoh itu bernama KH Raden Muhammad Adnan.

Dalam masa pendudukan Jepang, Kiai Adnan ikut berperan dalam perjuangan nasional. Waktu itu, dia diangkat menjadi anggota Jakarta Tokubetsu Si Kai alias Dewan Kota Jakarta, yang terbentuk pada 4 Oktober 1943. Dewan itu terdiri atas sejumlah representasi dari masyarakat Indonesia.

Baca Juga

Bersama tokoh-tokoh pejuang lainnya, Kiai Adnan ikut mengusulkan agar Jepang mendukung pembentukan barisan sukarela dalam rangka membela Tanah Air. Dai Nippon akhirnya mengabulkan inisiatif tersebut. Maka lahirlah balatentara Pembela Tanah Air (PETA).

Selain itu, ada pula Pasukan Hizbullah yang terdiri atas kalangan pesantren. Para pemuda Muslim direkrut dari berbagai daerah untuk bergabung dalam Hizbullah. Mereka dilatih agar menguasai keterampilan militer di Cibarusa, Jawa Barat.

Usai dari kamp pelatihan, mereka dikembalikan ke tempat asal masing-masing. Tujuannya untuk merekrut anggota sukarelawan baru.

Khususnya di Surakarta, pada bulan-bulan menjelang Proklamasi 1945 juga dibentuk suatu wadah perjuangan. Namanya, Barisan Kiai. KH Adnan terlibat langsung dalam pendirian gerakan ini.

Para simpatisannya diberi bekal pengetahuan tentang ilmu kemiliteran, politik pergerakan, dan sebagainya. Intinya agar para pemuka agama dapat memahami situasi yang terjadi dalam menyongsong kemerdekaan Indonesia.

 

Dalam masa kemerdekaan

Sesudah Indonesia merdeka, para tokoh yang berada di dalam Barisan Kiai berusaha menjaga pasukan dengan bergerilya. Selain Kiai Adnan, ada pula ulama-ulama lain yang terlibat. Misalnya, Kiai Abdurrahman, Kiai Ma’ruf, Kiai Abdul Karim, Kiai Tasrif, Kiai Martoikoro, dan Kiai Amir Thohar.

Dengan latar berlakang dunia pesantren, Kiai Adnan dipercaya pemerintah Indonesia untuk menjadi unsur lembaga tinggi negera, yaitu Dewan Pertimbangan Agung. Hal ini berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan resmi pada 3 Juli 1946.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 2 Juli 1947, dia bersama dengan para ulama lainnya mendirikan wadah perjuangan bernama Dewan Perjuangan Rohani.

KH Raden Muhammad Adnan tercatat meraih gelar profesor dalam bidang ilmu fikih. Sebagai akademisi, perhatiannya pada upaya-upaya mendidik generasi sungguh besar. Bisa dikatakan, seluruh hidupnya diwakafkan demi kemajuan dunia pendidikan Islam.

Sepulang belajar dari Makkah, Arab Saudi, Kiai Adnan menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat. Karya-karyanya, baik dalam bentuk buku maupun artikel, menjadi salah satu rekaman yang baik tentang dedikasi dan ketulusannya.

Menurut Kiai Adnan, pendidikan agama mesti dipandang penting dalam rangka membentuk karakter dan kesadaran religiusitas generasi muda. Prinsip inilah yang juga diajarkannya kepada seluruh pengikutnya.

Banyak kalangan masyarakat yang mengirimkan anak-anaknya kepada Kiai Adnan untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Pada awal tahun 1939, dia menggagas berdirinya Pesantren Luhur. Dalam hal ini, dia berkolaborasi dengan dr Satiman Wiryosanjoyo.

Gagasan ini bertujuan untuk menampung para santri lulusan madrasah aliyah atau pesantren. Usaha dan gagasan itu terwujud pada zaman pendudukan Jepang dalam bentuk Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta.

Pada perkembangannya, STI dipindah ke Yogyakarta ketika Indonesia mengalami pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Sebab, keadaan Jakarta tak lagi kondusif. STI di Yogyakarta lantas berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).

Pada 22 Januari 1950, Kiai Adnan bersama para tokoh lainnya kemudian mendirikan Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII). Lembaga ini memperoleh dukungan dari banyak ulama dan tokoh nasional.

Pada awal pendiriannya, PTII hanya membuka dua fakultas, yaitu Fakultas Hukum dan Ekonomi. Maka, ada dua perguruan tinggi Islam yang cenderung bercorak sama, yakni PTII di Surakarta dan UII di Yogyakarta. Para tokoh menggagas penyatuan dua lembaga tersebut. Setelah melakukan perundingan, disepakatilah penggabungan PTII-UII.

Pada 26 September 1951, Kementerian Agama (Kemenag) mendirikan institusi baru yang diberi nama Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Antara tahun 1951 dan 1959, Kiai Adnan dipercaya sebagai rektor pertama PTAIN Yogyakarta.

Lembaga ini sekarang telah bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta.

Setelah diangkat menjadi guru besar dalam bidang ilmu fikih, kesibukannya kian intens dalam mengajar dan ceramah publik. Pernah pula ia menjadi dosen luar biasa pada Universitas Gadjah Mada (UGM).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement